Friday, February 23, 2007

[tentang] Sebut Saya Pembajak!

Pembajakan kaset atau cd tampaknya bukan barang asing bagi kita. Meski merugikan banyak pihak, pembajakan masih saja berlangsung. Para pemain band dan penyanyi pun pernah menggelar demo ala jalanan hingga bertandang ke gedung DPR sebagai ajang kampanye anti pembajakakan. Hampir di setiap kesempatan mereka rajin melafalkan "Jangan Beli Bajakan" dan menaruh logo "stop piracy" di setiap cover belakang kaset/cd.

Lalu apa hubungannya dengan saya? Apakah saya juga membajak kaset dan cd ? Tidak!. Saya tak pernah terlibat dalam industri pembajakan. Klo pun saya lebih sering mendengar MP3 itu hanya karena saya meraya lebih sering berada di depan komputer dn bisa memyimpan lebih banyak musik di hardisk hehehehe :p (maafkan saya)

Namun ada kesaman antara saya dengan pembajak kaset/cd. Tidak untuk saat ini, tapi justru pengalaman saya saat meduduki bangku SMP (menduduki? memang jepang menduduki indonesia!). SMP saya adalah smp negeri yang sangat-sangat tidak favorit! Menyedihkan memang, gedungnya berdiri di atas tanah bekas timbunan sampah. sekolahnya tak punya berprestrasi. muridnya tak pernah bermimpi untuk masuk smp ini. klo pun saya masuk, ini karena NEM SD saya tidak cukup untuk masuk SMP Favorit ( moron!) Namun yang paling menyebalkan adalah pelajaran Tata Busana!

Mulai dari kelas satu hingga kelas tiga, mata pelajaran ketrampilan yang diberikan adalah tata busana, baik untuk murid laki-laki maupun perempuan. Bagi saya dan kebanyakan siswa laki-laki, pelajaran ini jelas2 gak terlihat macho. Bandingkan dengan pelajaran di smp lain, elektronik! keren kan. Tapi ya udahlah namanya juga nasib :( Kami pun hanya bisa mengerutu dengan pelajaran ini. Bahkan kami memanggil guru tata busana dengan nama "pak sepul". Sepul sendiri merupakan salah satu onderdil di dalam mesin jahit. Saat ini pun saya sudah lupa dengan nama asli guru tersebut.(sekali lagi, maafkan saya)

Sesuai namanya, kami diajarkan untuk mampu membuat baju sendiri. yaa.. baju seperti seragam smp yang saat itu masih kemeja putih dengan celana pendek biru tua. Baju itu pulalah yang nanti menjadi nilai di ujian akhir. Namun di sebelum membuat baju sesungguhnya kami mengunakan pola baju terlebih pada media kertas sebelum ahkirnya di terapkan di kain untuk kemudian dipotong dan jahit.

Pada pelajaran awal-awal, pola yang kami buatpun mengunakan skala 1:8 atau 1:16 (klo tak salah ingat). Dengan skala ini, tugas kami hampir mirip origami, seni melipat dan mengunting kertas. Polanya pun beragam dari baju kemeja (baik lengan panjang maupun pendek), celana panjang dan pendek hingga rok.

Pada suatu hari, Pak Sepul menugaskan kami untuk segera mengumpulkan pola baju tersebut. Saya dan beberapa murid merasa kelabakan dengan tugas ini. Tugas ini memang telah diberikan beberapa minggu lalu, namun tak ada hasil jadi yang ada di tangan saya. Sang guru meminta agar tugas yang telah selesai dimasukkan dalam amplop diberi nama dan diserahkan ke beliau di ruang guru. Pak Sepul pun meninggalkan kelas, meninggalkan kami yang bingung setengah mati.

Tiba-tiba, entah entah kenapa karib saya waktu itu, Agung mengajak saya untuk mengantarkan tugas2 temen ke ruang kelas. Saya heran, kenapa ia bisa PD seperti itu. Padahal tugasnya juga seperti saya, tidak selesai dan tentu tidak rapi. Tapi, sayapun tak menolak menemani dia ke ruang guru.

Namun belom sampai di ruang guru, Agung justru berbelok ke ruang kelas kosong. Lalu dia mencomot salah satu amplop tugas dan memasukkan dalam sebuah amplopnya lalu memberi nama ia sendiri. ya! ia mengambil tugas milik seorang teman dan mengantikan amplop yang bertulis namanya. Saya sempat terheran-heran dengan ide ini, gila!. wadefak! saya pun akhirnya memngikuti perbuatan terkutuk dan laknat ini! meski saya telah membuat tugas, namun tidak semua tugas saya selesaikan dengan baik, tidak semua pola baju saya buat. hasilnyapun pasti gak karuan, acak kadul, jelek abis.

... Dengan sejuta penyesalan, saya akhirnya mengambil satu amplop juga. Tapi ini juga merupakan pilihan berat. Ampolop siapa yang akan saya "bajak" untuk kemudian diganti sama amplop saya. Terus berpikir siapa yg patut saya bajak. Saya tak punya "musuh" untuk saya korbankan; milik temanpun juga saya merasa bimbang. Tapi entah kenapa saya kemudian mengambil tugas milik Retno. temen perempuan sekelas ini. Saya memilih namanya karena saya kerap mencandainya hehehhe... :p

Dan tugas Retno, yang telah ia kerjakan selama beberapa minggu, pindah ke amplop saya, berikut dengan nama, kelas dan no absensi saya. Amplop Retno dan tugas saya saya masukkan ke dalam saku celana untuk kemudian dimusnahkan.

Kisah pembajakan saya pun selesai dengan rapi. Tak ada "korban" yang merasa dirugikan, saksi kunci pun juga teman saya sendiri sekaligus pelaku 1 dan sebuah rahasia tetap terjaga hingga saat ini. Saat anda membaca kisah pembajakan saya.

Rock d World!
rio_nisafa

Tuesday, February 13, 2007

[tentang] Mendadak (Gila) Dangdut


... lay, lay, lay, lay, lay, lay
... panggil aku si jablay

... abang jarang pulang
... aku jarang dibelai

Saat ini siapa tak kenal lagu "Jablay" di atas?. Sebuah lagu dangdut yang (semakin) melambungkan nama Titi Kamal. Lagu ini semakin menambah deretan prestasi yang telah dicapai salah satu artis sexy ini (setidaknya menurut saya :p).

Lagu "Jablay" sendiri terrangkum dalam Album OST (Original Soundtrack) film "Mendadak Dangdut". Dalam film ini Titi Kamal juga berperan sebagai pemeran utama. Meski film tersebut telah putar di cinema beberapa bulan yang lalu, lagu "Jablay" masih sering terdengar dalam frekuensi yang tinggi.

Titi Kamal memang tak mau disebut sebagai penyanyi dangdut. Sebenarnya saya pun menyayangkan tidak terjunnya Titi Kamal sebagai penyanyi dangdut sekalian. Satu Album dengan hits "Jablay" sepatutnya bisa menjadi modal untuk tampil live di televisi atau panggung hiburan lainnya. Dalam sebuah tayangan infotaiment (damn, ternyata saya nonton juga!), Titi Kamal menyatakan bahwa menyanyi dalam film tersebut tak lebih dari sekadar tuntutan skenario. Mempunyai album rekamanpun merupakan bagian dari pekerjaannya sebagai pemain film.

Namun saya tidak akan membahas film "Mendadak Dangdut" kali ini. Hal ini dikarenakan Toni, sohib saya tidak mengajak saya (atau mentraktir tepat) ke bioskop. Oya, nama di atas adalah nama yang mempengaruhi saya untuk mengenal musik dangdut secara mendalam. Satu tahun tinggal di kontrakan bersamanya, saya rutin menyaksikan program acara KDI dan acara musik dangdut lainnya di televisi. Jadi saya akan membahas lagu-lagu dalam Album "Mendadak Dangdut" saja.

Sebagai album soundtrack, tidak banyak dialog di film yang ditampilkan. Jikapun ada itu hanya dialog ringan yakni "neng ikutan abang ndangdutan yuk? // najis lo!" yang muncul di intro "jablay". Lalu dialog lain semacam announce "selamat datang dangdut mania di seantero pulau gadung//baiklah selanjutnya kita tampilnya seorang asing yang tidak artis lagi.. Nyi Maduma!!" pada lagu "Jablay" dalam versi dangdut remix. Ketika saya perhatikan detail, konyol juga sang mc.

Album ini pun tidak bisa dikatakan sebagai 100% album dangdut . Dari 10 lagu yang ditawarkan, empat lagu di antaranya adalah lagu ber-genre pop dan satu bernama dangdut remix. Dan tidak semuanya mengambil suara dari artis bernama Kurniati Kamalia ini (?). Ada vokal laki-laki yang hadir dalam format musik band.

Beberapa lagu perlu mendapat catatan dari saya. Lagu pertama yang saya ingin bahas tentunya "Jablay". Lagu ini sangat fenomenal sehingga istilah jablay muncul dimana-mana. Saya melihat stiker besar di sebuah bus. Seorang teman juga disapa Jablay. Kekuatan lagu ini memang terletak pada judul "jablay" yang menarik sekaligus "ear cachting". Liriknya pun unik, bertutur tentang seorang perempuan yang jarang dibelai. Konon kata jablay sendiri mempunyai konotasi negatif, semacam wanita murahan.

Lagu "Aduedueh Kakang" yang muncul dalam track ke 8, warna dangdutnya terasa sangat kental. Cengkok Dangdut Titi Kamal pun begitu kuat. Titi Kamal seakan mengerahkan kemampuan vokal terbaiknya dalam lagu ini. Hal ini terdengar melalui alat musik kendang dan instrumen electone yang hadir di intro dan pertengahan lagu.

Sementara lagu "Buronan Cinta" menghadirkan semacam interaksi dengan penonton. Sekilas mirip dengan lagu "Penonton" yang pernah dibawakan Vety Vera berduet Wan Abud atau pertunjukan lenong betawi. Judulnyapun terbilang unik, seakan menginggatkan saya pada lagu dangdut lainnya "Pengemis Cinta" milik Johny Iskandar.

Kritik sosial seakan tampak hadir dalam lagu "Mars Pembantu". Kisah (atau tepatnya derita) para pembantu rumah tangga terekam dengan baik. Tutur lagu ini seakan mewakili perasaan PRT yang nasibnya tetap saja terpuruk. Coba simak reffrainnya yang bergaya pantun "meski banyak padi di sawah, hatiku selalu resah// meski tlah ganti pemerintah, hidupku selalu susah//... oh nasib pembantu"

Lagu terkeren di album ini, menurut saya jatuh pada lagu "Dangdutkah Kita". Nilai sempurnapun layak ditujukan. Lirik dalam lagu ini membawa kita pada nuansa dangdut klasik negeri ini. Dengar aja sepintas reffrain lagunya "Tak ada gubuk derita meski makan sepiring berdua, dan menari-nari bagai boneka dari india". Nama Rhoma Irama, sang raja dangdut, pun terbawa-bawa dalam lagu ini. Hentakan kendang diikuti seruling semakin menambah nuansa klasik pada lagu ini. "Dangdutkah Kita" seolah ingin mengembalikan kita pada "khittah dangdut".

Lagu ini pulakah yang kemudian membawa pertanyaan besar kepada saya, persis sesuai judulnya, "Dangkutkah Kita"... atau lebih tepatnya "Seberapa dangdutkah saya ?" Atau kenapa saya jadi Mendadak (gila) Dangdut ? hehehe.... :p

Dangdut d World!
..eh, salah

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Konser Ungu : Nuansa Religi dalam bingkai Pop

Konser Ungu di Jogja membawa catatan penting bagi panitia penyelenggara, penonton dan terutama Pasha dkk. Empat hari sebelumnya, konser mereka di Pekalongan membawa 10 korban jiwa. Namun hal tersebut tak membuat mereka membatalkan konser di Stadion Mandala Krida pada pertengahan Desember 2006. Apalagi konser tersebut merupakan penutup rangkaian konser dan ternyata (menurut klaim Ungu) mampu meraup jumlah penonton terbanyak.

Dibuka dengan lagu "Surgamu", nuansa konser ini terlihat berbeda dengan konser band2 pop lainnya. Lagu ini sendiri tercantum dalam album yang bertajuk sama dan rilis dalam bulan Ramadhan lalu. Ribuan penonton yang telah menunggu Ungu, langsung turut melantun lagu ini. Meski dengan lirik yang lirih, gema lagu ini begitu terasa. Terutama di bagian di bagian Reffrain. Tak sedikit penonton konser larut dalam takbir, menyebut kebesaran Sang Pencipta.

Setelah lagu pertama digeber, sang vokalis Pasha langsung menyapa sekaligus meminta penonton untuk memanjatkan doa (berupa bacaan surat Al Fatihah) bagi korban konser Ungu. Semua pihak berharap peristiwa beberapa hari silam tak akan terjadi di kota Jogja. Apalagi pemberitaannya cukup kencang diekspos oleh media massa.

"Andai ku tahu", adalah lagu ketiga yang Ungu bawakan. Dan saya semakin merasakan nuansa yang menghanyutkan dalam konser. Lagu ini seakan menyadarkan kita untuk betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah kita buat dalam hidup ini. Liriknya sangat menyentuh kesadaran yang paling dalam, musiknya juga masuk banget. Meski saya rasa lirik ini hampir mirip Al-I'tiroof (Sebuah Pengakuan) yang diciptakan oleh Abu Nawas, saya tetap mengacungkan nilai sempurna buat Ungu.

Dari puluhan konser yang pernah saya nikmati, rasanya hanya konser Ungu ini yang begitu kental nuansa religius, tanpa terjebak pada sesuatu yang dogmatis apalagi melihat sesuatu dari sisi salah atau benar semata. Konser memang harus mengajak penontonya untuk nyanyi bersama, mengerakkan badan sesuai irama, tetapi ketika kesadaran akan sesuatu yang lebih besar tersentuh, konser tersebut memiliki nilai lebih. Ungu mampu menunjukkan hal tersebut, meski hanya di dua lagu.

Kalo boleh saya bandingkan, nuansa seperti ini juga pernah saya rasakan ketika saya menyaksikan "Kenduri Cinta", sebuah "pengajian ngepop" yang dibawakan Emha Ainun Najib. Saya bilang ngepop, karena dalam pengajian tersebut juga dilantunkan musik dari "Kyai Kanjeng". Dua kali saya hadir dalam kenduri cinta tersebut, di boulevard kampus UGM, Jogja dan di Taman Ismail Marjuki, Jakarta. Selain gaya bahasa yang mbeling, aksen ngepop yang dibawakan Cak Nun dilihat dengan munculnya "Mbah Surip" seorang penyanyi reggae berusia gaek.

Kembali ke konser, memasuki lagu berikutnya nuansa Ungu yang mellow dan romantik abis mulai muncul. Ditunjang dengan larisnya album mereka ketiga "melayang" dengan hits "Seperti Yang Dulu", "Tercipta Untukku" dan "Pilihan Hatimu" Ungu benar-benar membius para penonton untuk melantunkan lagu bersama. Ribuan ABG yang menikmati konser itu (tidak termasuk saya!) tampak sudah hapal luar kepala lagu-lagu Ungu.

Sayang... durasi konser ini terbilang pendek untuk sebuah band sebesar Ungu. Kurang lebih sepuluh lagu yang mereka bawakan. Lagu "Laguku" yang juga hits di album kedua tidak masuk dalam songlist dalam konser tersebut. Begitu juga dengan lagu "Ciuman Pertama" yang kerap wira-wiri di radio. Bahkan "Demi Waktu" yang menjadi first single mereka di album "melayang". Padahal saya terlanjur mengharapkan lagu ini turut dibawakan Ungu. Namun begitu.... secara keseluruhan, dua acungan jempol patut mereka dapatkan.


Rock d World! rio_nisafa

[tentang] Menatap Langit


Pernahkan Anda menatap langit ? Meluangkan sejenak waktu untuk merebahkan diri di tanah dan menatap lurus ke arah langit ? Jika belum, saya sarankan Anda untuk melakukannya. Malam ini, jika langit cerah, keluarlah dari rumah dan mulailah menatap langit sembari merebahkan badan. Sore hari pun juga tak mengapa. Namun jika Anda pernah melakukan, tak ada salahnya juga jika saya berbagi pengalaman menatap langit.

Pengalaman menatap langit pertama kali saya lakukan saat saya masih SMP. Tepatnya saat saya mengikuti kegiatan bela diri. Nah, pada saat pemanasan, biasa seluruh peserta (tak memandang level sabuk) akan melakukan bersama-sama. Termasuk saya tentunya. Salah satu aktivitas pemanasan adalah gerakan "sit up", mengerakkan tubuh dari tidur terlentang ke posisi mencium lutut.

Nah, karena masih sabuk putih, level paling rendah, hitungan sit up saya tak mencapai diatas angka 10. Ketika para senior terus melakukan sit up, sayapun merebahkan diri di tanah lapang, di alam terbuka. Sayapun dapat melihat langit sore yang sangat indah. Terkadang awan berarak beriringan dan ada kalanya langit cerah tanpa awan. Meski sejenak, saya saya dapat memandangi luasnya bentangan langit sebelum senja turun.

Bahkan Ketika perguruan kami menggelar latihan bersama (yang diikuti cabang lain) di Pantai Parangkusumo, memandang langit di sela rehat juga saya nikmati. Bedanya kali ini, saya rebahan di pasir pantai. Cuacanya pun lebih panas dan kulit kepala jadi lebih gatal. Namun rebahan di sebuah padang pasir (dalam arti sebenarnya) membuat saya semakin sadar bahwa saya ini tidak artinya jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta. kebetulan tempat saya latihan itu, merupakan "gumuk pasir", sebuah padang luas dengan beberapa bukit2 pasir luas membentang.

Memandang langit di malam hari pun, pernah saya alami. Kala itu, angkatan saya di kuliahtengah mengelar "Great Camping" semacam perkemahan untuk mengenalkan mahasiswa baru ke HMJ(Himpunan Mahasiswa Jurusan). Saya, yang menjadi panitia memilih menghabiskan malam di sebuah tenda terbuka yang terletak di pojok. Dengan teman2 dekat, saya menikmati dinginya udara malam di Kaliurang. Di tenda terbuka, kami bisa memandang langit secara bebas. Apalagi malam itu sangat cerah, ribuan bintang yang bertahta di singgasana langit tampak berkedip indah. Membuat kami berharap agar pagi tak lekas menghampiri. Apalagi saat itu, Lilik, karib saya melihat bintang jatuh... wah sayang sekali, saya tak melihat bintang jatuh itu dengan mata saya sendiri.

Tahun 2003, ketika terjadi fenomena "bulan kembar", saya pun memilih begadang semalam untuk menatap langit. Saat itu ramai dibicarakan bahwa Planet Mars, berada di titik paling dekat dengan bumi, menjadikan seolah ada dua bulan di langit malam. Meski planet merah tak seperti yang kami harapkan, saya tetap menikmati kegiatan menatap langit. Bedanya kali ini saya menatap langit tidak di alam terbuka, tetapi di tempat jemuran kost-kostan saya.

Kenangan terahkir menatap langit saya adalah tatkala malam pergantian tahun baru 2007. Bersama sohib saya, Anton, Puji dan Riza, saya memilih menikmati malam akhir tahun di pantai parangtritis. Meski jogja diguyur gerimis pada sorenya, niatan kami ke pantai tetap terlaksana. Sayapun tak lupa rebahan di pasir pantai. Namun sayang, langit masih mendung saat itu, tak ada bintang yang bertabur di angkasa. beberapa saatpun mulai terlihat satu bintang di kaki langit selatan mulai bersinar redup. Tak lama kemudian dua bintang lainnya terlihat tepat di atas kepala kami.

Kami pun berharap agar munculnya bintang menjelang jam 24.00 malam ini menjadi pertanda baik bagi saya dan sahabat saya (termasuk Anda!) di tahun 2007. Semoga.

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Kalender


Pergantian tahun dan kalender dan adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Kalender memang merupakan penanda dari tanggal, hari atau bulan. Tapi ia juga telah menjadi sesuatu yang mengingatkan kita akan rencana, target bahkan kenangan terhadap sesuatu. Nah, saya pun mempunyai cerita tentang Kalender.

Pada saat SMA dulu, saya mempunyai sebuah kenangan seru perihal Kalender. Maklum saja saat itu juga usia masih belasan, masih punya keceriaan ala remaja (meski sekarang juga masih :p). Saat itu saya masih kelas 2, Bulletin Sekolah "Brata" membagikan kalender dinding sebagai bonus di salah satu edisinya. Itu artinya Kalender (bentar saya hitung dulu) tahun 1995. Wah lama juga yach...

Seinggat saya kalender itu berukuran double poster. Full Colour, tapi designnya standar banget. Bertuliskan nama sekolah lengkap dengan logo-alamat-telepon, foto gedung sekolah, dan foto beberapa kegiatan sekolah. Selain itu lay outnya juga biasa saja. Intinya gak terlalu keren untuk ditempelkan di dinding kamar.

Kami mendapat kalender tersebut pada jam istirahat pertama. Nah, pada jam pelajaran berikutnya... kenakalan masa SMA kami terjadi. Kami sekelas malah tidak tertarik pada pelajaran kesenian yang diajarkan pada jam tersebut. Saya dan teman-teman malah saling memberi tanda tangan tersebut pada kalender tersebut. Saya membubuhkan tanda tangan di tanggal ulang tahun saya pada kalender milik teman. Begitu juga kalender milik saya, ada tanda tangan teman sekelas pada hari kelahirannya.

Bisa dibayangkan jika satu kelas ada 40 murid, betapa ramai dan kacaunya kelas. Setiap murid akan "beredar" dari meja satu ke meja lain untuk membubuhkan tanda tangannya. Seakan tak boleh ada kalender yang terlewat dari tanda tangannya. Kalender tersebut seakan ingin menjadi pemberitahuan bagi masing-masing anak kapan ia berulang tahun. Beberapa teman ada juga yang menambah kata semacam "kesan pesan", tak sekadar tanda tangan.

Kelaspun menjadi ramai dengan tingkah polah saya dan temen-teman. Hal ini ditambah lagi dengan gurauan atau candaan khas anak SMA. Murid yang biasanya bersikap alim seakan-akan ikut tertular perilaku konyol ini. Tak ada teman yang tak membubuhkan namanya di kalender tersebut.

Mungkin pak guru kesenian kami, Bapak Ridwan (itupun klo gak salah) hanya bisa mengelus dada melihat perilaku kami. Pelajaran kesenian yang ia ajarkan menjadi terabaikan. Bahkan bisa jadi teman-teman menganggap jam pelajaran itu sebagai jam kosong. Semoga beliau bisa memaklumi atau bahkan berempati dengan kami sekelas ini.

Rock d World! rio_nisafa