Friday, August 24, 2007

[tentang] Kririk Dari Murid Bodoh

Lupakan saja tentang tentang kebodohan saya di masa lalu. Toh semua sudah lewat. Sekarang saya sudah tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Jika saya bodoh ada dua asumsi mendasar, saya yang bener-bener bodoh atau dunia pendidikan di republik ini yang tidak bisa menciptakan manusia-manusia pinter...??

tapi menurut saya sich, kecendrungan ada di opsi ke dua. :p

heheheh, maafkan saja, jika saya mengkritik pendidikan di negara ini. Hal ini sekaligus sebuah apologi bagi saya, bahwa saya gak bodoh-bodoh amat. Lha wong saya bisa mengkritik pendidikan di negara ini. Terserah mo diterima atau gak, saya juga gak mau peduli. Toh, tulisan ini saya maksudkan juga untuk menyangkal pendapat yang udah kebentuk bahwa "saya memang murid yang bodoh" di tulisan [tentang] saya sebelumnya.

Saya punya 3 kritik dasar terhadap dunia pendidikan. Tiga kritik ini saya ajukan sesuaikan dengan runtutan saya belajar di bangku sekolah. Sedang cacatan di bangku kuliah, akan saya tulis belakangan, karena pendidikan di kampus tidak hanya menyangkut sistem pendidikan tapi juga perkara individu (hehehe, baca : masalah pribadi saya)

(1) Perbedaan Standar Pendidikan
Meski saya terbilang bodoh di SD, sesungguhnya saya tidak bodoh amat untuk ukuran murid SD di kota Jogja. Bener! NEM (nilai ebtanas murni) mencapai angka 40 lebih, atau rata-rata 8. Dari nilai itu, saya bisa masuk SMP favorit di Yogyakarta, seperti SMP 8, atau SMP 1. Hanya SMP 5, yang tidak bisa saya masuki.

Dengan NEM itu saja sudah membuktikan bahwa bodoh di SD MUhammadiyah Ngupasan, ternyata mampu meraih NEM tinggi. Jadi bodoh atau pintar itu ternyata soal standar. SD saya memang punya standar sangat tinggi, maklum SD saya termasuk SD Favorit dan punya segudang prestasi.

Wajar klo kualitas pendidikan di SD saya mendapat nilai dua jempol. SD saya sudah mengenal les tambahan di sore hari, setiap murid mempunyai LKS sendiri-sendiri, sarana perpust yang lengkap. Belum lagi kegaiatan ekstra kuliner, eh, ektrakulikulernya. Saya Lalu membandingkan dengan SD lain... wah, jauh sekali standarnya.

Jika Anda sudah menonton film "Denias", (sebuah film tentang anak di Papua), Anda dapat bandingkan bagaimana standar pendidikan di Indonesia sangat timpang sekali.

(2) Sekolah = Pembodohan Massal
Saya masuk SMP yang tidak favorit karena gagal diterima di SMP Favorit. Hal ini ternyata membuat mental saya down. Jika saya mendaftar di SMP 8 (SMP favorit kedua setelah SMP 5), saya pasti sudah diterima. NEM saya masuk. Di awali mental down itulah, saya sempat merasa tidak semangat sekolah (wakakakaka, jawaban ra mutu, untuk seorang anak SMP).

Apalagi memang sekolah ini ra mutu blas (maafkan saya, untuk itu tidak saya sebut nama SMP saya). Saya membandingkan dengan SD saya saja. Mental down ini ternyata membuat prestasi saya di kelas satu jatuh hingga 30 besar.

Yang paling parah di SMP ini adalah pembagian kelas berdasarkan rangking kelas di kelas sebelumnya. Oya, di kelas 1, saya masuk di kelas 1A, karena memang NEM saya tinggi. Pembagian kelas ala ini membuat saya masuk kelas 2C, karena rangking saya di kelas 1 adalah 30 besar.

Pembagian kelas ini merupakan upaya pembodohan massal. Seorang murid bodoh (baca: mempunyai rangkin besar) dimasukkan dengan murid yang bodoh pula. Lalu bagaiman murid itu bisa menjadi lebih pandai dengan pembagian kelas ini. Yang ada murid yang bodoh akan semakin bodoh karena berteman dengan teman yang bodoh pula. Belum lagi para guru sudah memandang rendah dan ogah-ogahan mengajar di kelas C atau D.

(3)Steorotipe Pendidikan
Jujur saja, saya memang tak suka dengan ilmu eksak (macam ilmu fisika, kimia). Tapi ini soal pilihan atau potensi setiap individu. Orang punya kecendrungan sendiri-sendiri. Bagi saya ilmu eksak atau sosial itu dalam posisi yang setara, gak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Namun di negara ini, ilmu eksak seolah dianggap lebih tinggi. Saya juga gak setuju dengan menyebut ilmu sosial sebagi ilmu non eksak. Ini merupakan bentuk arogansi dari ilmu eksak. Akibatnya ilmu sosial dianggap ilmu kelas kedua setelah ilmu eksak. Hal ini yang membuat kelas A3 (ilmu sosial) di SMA dianggap sebagai kelas buangan karena murid-muridnya tidak mempunyai nilai yang bagus pada pelajaran ilmu eksak.

Steorotipe ini, yang menempatkan ilmu eksak lebih tinggi, menjadikan saya dan teman2 di kelas A3 mempunyai beban yang gak sehat. Seolah murid kelas A3 adalah murid buangan karena tidak masuk kelas A1 atau A2. Seorang teman sekelas saya sempat merenung di kapal (ketika libur kenaikan kelas dan ia pulang kampung ke kalimantan) tentang masuknya ia di kelas A3.

Hal ini makin terlihat tidak fair dengan murid A1 atau A2 bisa masuk fakultas sosial di perguruan tinggi, sedang urid A3 tidak bisa melakukan hal yang sama. Pendidikan di negara ini justru membuat steorotipe yang "merendahkan" tentang ilmu sosial.

* * * *

ya sudahlah.... Lupakan tulisan ini, jika Anda masih percaya bahwa saya adalah murid yang bodoh... Klo tidak, ya ga papa juga. Saya juga ga tau mo melakukan apa dengan sistem pendidikan tanah air. Bingung aja dengan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan manusia malah terkadang membodohkan dan membodohi..... wakakakakaka

[tentang 14/agustus3]

Rock d World!
rio_nisafa

Monday, August 20, 2007

[tentang] MURID YANG BODOH#2

Masa SMA pun saya jalani dengan beban kebodohan yang masih berat. Saat kelas 1, nilai IPA saya tidak bagus.Entah biologi, fisika, apalagi kimia. Sedang nilai matematika standar. Dengan nilai seperti ini, maka saya sukses memasuki kelas IPS atau yang di masa saya disebut kelas A3.

Dengan predikat murid A3, wajar saja klo saya terjebak pada steorotipe murid yang bodoh, nakal dan susah diatur. Saya yakin rangking teman-teman di kelas A3 pada saat kelas 1, pasti 30an besar.. hahaha, kayak seperti saya juga. Anggapan bahwa kelas A3 adalah kelas buangan, kayak sah-sah saja.

Hebatnya, teman-teman saya malah bangga dengan 'kebodohan mereka' dengan membuat sigkatan bahwa SOSIAL adalah akronim dari 'Sekolah Ogah SInau Apalagi Les' hahahaha. A3 juga dipanjangkan menjad Anak Amoral Asusila... Soal kebadungan atau kenakalan kelas A3, gak usah diceritakan lagi, simetris, berbanding lurus dengan kebodohannya.

Meski merasa murid bodoh di 3 bangku sekolah, saya bisa memasuki kampus Universitas Gadjah Mada.Jurusannya pun terbilang favorit, komunikasi. Singkatnya keren banget, banyak yang daftar untuk masuk jurusan dan universitas tersebut (boleh bangga dikit nich)

Tapi sekali lagi, prestasi di bangku kuliah ternyata sebangun dan sepadan dengan masa-masa sekolah dulu. Jika standar kuliah S1 adalah 5 tahun, maka wajarlah klo saya juga masih patut menjadi mahasiswa yang bodoh. Saya menyelesaikan bangku kuliah selama 6 tahun. Ya, enam tahun. Predikat cumlaude pun melayang jauh-jauh, karena predikat ini hanya didapat bagi mereka yang lulus maksimal 5 tahun dan IPK minimal 3,5.

Soal kebodohan di masa kuliah, saya tak tau persis, karena mahasiswa tidak dikotak-kotak melalui kelas, rangking apalagi nilai raport yang bisa diketahui oleh teman lainnya. Mungkin kebodohan saya bisa dilihat dari pernahnya saya mengambil cuti kuliah selama semester. Bodohnya karena saya mengambil cuti hanya karena merasa jenuh kuliah aja. Sebuah alasan yang terdengar bodoh dan tak masuk akal. tapi ya udah lah...


Cerita ini bukan karena saya merasa bangga menjadi bodoh, apalagi ingin mempunyai predikat (maha)siswa yang bodoh ; tapi sekedar berbagi pengalaman saja. bahwa sayapun pernah menjadi orang yang bodoh. wakakakaka

[tentang 13/agustus2]

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Murid yang Bodoh#1

Jika ada predikat murid yang bodoh, saya yakin bahwa saya termasuk dalam nominasi ini. Bahkan saya juga yakin, saya akan diunggulkan. Sekali lagi cuman diunggulkan, bukan yang meraih prestasi terbodoh.

Jadi asumsi awal yang hendak saya sampaikan adalah Jangan terkecoh dengan penampilan kacamata yang saya pakai. Kacamata ini hanyalah kacamata yang saya gunakan karena terlalu nonton TV terlalu dekat. Sumpah, ruang di rumah saya dulu yang terlalu sempit, menjadikan jarak mata saya dan layar tivi tidak sesuai kaedah yang baik dan benar.

Tapi tak apalah, saya mulai dari duduk di bangku SD, jaman saya masih pake baju merah putih. Kebetulan saya sekolah di SD yang favorit. Terletak di tengah-tengah kota serta memiliki regu Drum Band yang menyabet juara umum tingkat DIY-Jawa Tengah. Fasilitasnya pun lengkap. ada Mushola luas, UKS yang bersih, perpustakaan yg lengkap (setidaknya dibandingkan SMP saya), hingga alat pemadam kebakaran. SD saya pernah maju dalam lomba sekolah teladan, meski saya tak tau meraih juara berapa.

Soal muridnya, saya yakin teman-teman saya pinter-pinter semua. Muridnya sering maju di lomba cerdas cermat di TVRI Lokal. Hasil NEMnya pun terbilang tinggi untuk Ranting Yogya Barat. Mungkin karena saat itu sudah ada jam pelajaran tambahan alias les sore hari menjelang EBTANAS (sekarang Ujian Ahkir Nasional)

Mungkin karena muridnya pinter-pinter itulah saya jadi terlihat bodoh. Hal ini saya sadari saat kelas 6. Saat itu ada seorang guru yang menerapkan tugas kelompok dalam pelajaran kelas. Awalnya Guru memilih 5-6 murid terpandai untuk maju ke kelas. Kemudian satu persatu mereka menunjuk teman untuk dijadikan teman sekelompok. Walhasil murid yang pandai akan terpilih di awal-awal pilihan, diikuti oleh murid yang prestasinya sedang. Nah yang tidak pinter, harus mengalah belakangan.

Dan ternyata, saya menempati posisi tersebut... posisi ahkir yang dipilih sebagai teman sekelompok belajar... wadefak... rupanya saya dianggap bodoh oleh teman saya sendiri.

Tapi beberapa minggu kemudian, sang guru merubah pola main di atas. Sekarang yang maju ke depan, bukannya murid2 yang paling pandai di kelas, tetapi justru murid yang terbodoh yang maju ke depan dan "seolah" menjadi ketua kelompok belajar. Sekali lagi, ternyata saya masuk kelompok 6 besar terbodoh di kelas. saya maju ke depan dan memilih teman untuk masuk kelompok saya."anjrittt"

Memasuki masa remaja di bangku SMP, kebodohan saya tak kunjung hilang, malah nambah... Apalagi statusnya SMP tidak favorit. Mereka yang masuk SMP ini hanya karena nem rendah atau terbuang dari SMP favorit. SMP yang tak bisa dibanggakan sama sekali. Bahkan saya tak tau, apakah smp saya punya lemari kaca untuk memajang beragam piala. Pokoke payah banget dan ra mutu.

Dengan teman-teman SD yang begitu pintar saja saya tetap tidak terkatrol menjadi pintar, apalagi dengan teman-teman SMP yang saya yakin tingkat kepinterannya setara dengan saya. Hal ini diperparah dengan fasilitas sekolah yang minim. Tapi ya udah lah, saya masuk SMP ini karena NEM saya yang pas-pasan juga.

Di Kelas satu, rangking kelas saya adalah 33 (atau 31) dari 44 siswa... huahuahau, besar banget tuh angka. dulu waktu SD rangking itu hanya untuk 3 besar, kini saya jadi tau betapa bodohnya saya. angka itu sudah membuktikan. Akibatnya dari rangking itu saya masuk di kelas 2C. Gambarannya Kelas 2A adalah kelas bagi murid murid yang masuk rangkin 11 besar, 2B untuk rangking 12-22, dan seterusnya. Wah, temen saya yang bodoh jadi banyak banget, sekelas lagi. Walau bukan kelas terbodoh alias kelas 2D.

(bersambung)


[tentang 13/agustus2]

Rock d World!
rio_nisafa