Thursday, August 14, 2008

Diponegoro dan Kemerdekaan Kita

Tiba-tiba aja saya pengen nulis tentang diponegoro... ya pangeran diponegoro yang kerap ditulis oleh buku-buku PSPB (pelajaran sejarah perjuangan bangsa). Entah kenapa ... mungkin bentar lagi bangsa kita mo rayain kemerdekaan yang 63 tahun... atau mungkin karena diponegoro itu pahlawan dari jogja.... karena juga tanah di tegalrejo (yang dibangun rel sama belanda) berada tak jauh dari rumah saya. Atau mungkin karena diponegoro sering jadi bahan joke di kalangan kita.

Jika harus ditarik dari awal.... saya suka sosok diponegoro. Seorang yang mewarisi legistimasi kekuasaan di tanah jawa. Ia adalah putra dari sultan hamengkubuwono III yang merupakan trah dari sebuah kerajaan mataram islam di jawa. Karena legistimasinya itu, ia berhak mendapat gelar pangeran.

Leluhur diponegoro yang paling terkenal adalah Sultan Agung, (lengkapnya Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo) satu-satunya raja di Indonesia yang melakukan penyerangan secara ofensif kepada Belanda di batavia. Sekali lagi secara menyerang ofensif, bukan sekadar mempertahankan wilayah dagang ala raja-raja lain di nusantara. Meskipun dua kali mengalami kekalahan berbuntut pada melepasnya daerah-daerah di kekuasaan mataram, sultan agung merupakan seorang pahlawan besar.

Semangat itulah yang seakan diwarisi oleh Diponegoro, perang melawan belanda yang dilakukan pada tahun 1825 sampai 1830 merupakan sebuah peperangan terbesar yang dialami bangsa indonesia maupun bangsa belanda. Karena besar perang ini, belanda sampai menyebut perang ini sebagai perang jawa, bukan sekadar perang diponegoro.

Perang melawan belanda yang ditunjukkan sultan agung maupun diponegoro merupakan salah satu bentuk penolakan segala bentuk intervensi asing yang masuk ke tanah jawa. Apalagi saat itu kerajaan mataram islam merupakan sebuah kerajaan besar. Sebagai sebuah kerajaan di dalam (bukan kerajaan pesisir, seperti majapahit atau demak) Mataram Islam mempunyai potensi sebagai kerajaan yang lebih besar lagi dibandingkan dengan Mataram Budha (dibawah dinasti Syailendra yang membangun Candi Borobudur) maupun Mataram Hindu (dibawah dinasti Sanjaya yang membangun Candi Prambanan). Sebelum mataram islam membangun dirinya dan menjadi besar, belanda datang dengan sikap kolonialisme nya..... setelah sultan agung gagal menaklukkan belanda, tantangan itu jatuh ke tangan diponegoro.

Penolakan diponegoro dimulai dengan masuknya intervensi belanda di kesultanan yogyakarta. (fyi mataram islam sudah terpecah menjadi kesultanan yogyakarta dengan kasunan surakarta). Hal ini terlihat dengan adanya Residen Belanda yang turut mempengaruhi roda pemerintahan saat itu. belum lagi dengan sikap bangsa belanja yang menghiraukan adat istiadat setempat dan mengeksploitasi rakyat. Keberpihakan diponegoro pada rakyat merupakan pilihan sikap sang pangeran yang lebih mencintai rakyatnya daripada tahta dan harta benda.

Pemicu perang diponegoro adalah pembangunan rel kereta api oleh belanda di tegalrejo, suatu daerah dimana diponegoro menghabiskan waktunya bersama eyang buyutnya, bukan bertempat di dalam benteng kraton layaknya sang priyayi. tinggal di tegal rejo juga menunjukkan sikap kedekatan sang diponegoro kepada rakyat sekaligus mempelajari ajaran agama.

Ketika perang berkobar pun, dukungan rakyat pada diponegoro sangat terbukti. Diponegoro mampu memperoleh dukungan dari banyak rakyat di berbagai tempat, tak hanya wilayah jogja semata. Banyak senopati (komandan) dan alim ulama yang mengambil peran membantu pasukan diponegoro di garis peperangan. Dukungan ini bukan semata-mata karena gelar pangeran yang ia sandang tapi lebih pada semangat perang sabil, yang selalu ia kobarkan.

Besarnya perang diponegoro juga membuktikan bahwa ia bukan pahlawan kelas kampung seperti si pitung, yang hanya terkenal di Kampung Marunda, Jakarta Utara. Semangat yang ia kobarkan bukan juga karena mempertahankan hukum adat (seperti hukum tawan karang di bali) apalagi hanya sekadar perebutan wilayah ekonomi (seperi hasanudin). perang diponegoro adalah perang kebangsaan melawan penjajah asing, bukan sekadar perang adat ala perang padri di tanah sumatra.

Penolakan diponegoro terhadap belanda membawa pengaruh yang besar dalam sejarah ke depan. Dalam era paska kemerdekaan, sikap ini diperlihatan sultan hamengku buwono IX, seorang raja kasultanan yogyakarta. Ia menolak opsi pemerintahan yogyakarta yang berada di bawah ratu belanda. Ia memilih bergabung dengan soekarno hatta dan menyatakan bahwa daerah yogyakarta adalah bagian dari wilayah indonesia dengan status istimewa.

foto :
http://foto-foto.com/apahlawan1/diponegoro_1.jpg

Rock d World
rio_nisafa