Thursday, February 25, 2010

Menonton Film (secara) Murah Meriah



(1) Pergilah ke Warnet, Copy Film dari Server Warnet
Mengcopy paste file dari warnet adalah kebiasaan lama saya. Sudah beberapa tahun, saya kerap mengcopy file MP3 di warnet seraya surfing di dunia maya. Sebuah flash disk dengan kapasitas cuman 128 Mega cukup sebagai bekal. Kini dengan ketatnya persaingan, warnet tak cuman menyediakan file musik saja tetapi juga film-film terbaru, baik produksi hollywood maupun lokal.

Dengan uang Rp. 4.000 (ngenet di warnet/jam) dan 2 buah flash disk 4 Giga saya bisa mengopy sekitar 4-6 film. Cukup murah bukan. Dibandingkan dengan rental DVD atau membeli DVD bajakan sekalipun, uang itu cukup enteng di dompet. Kualitas gambar dan suaranya pun tidak mengecewakan.

(2) Nonton di Rumah Kapan pun.
Dengan file film di flash disk, saya bisa menonton kapan pun. tidak terbatas pada durasi sewa, apalagi berpikir denda karena terlambat mengembalikan kepng DVD ke rental. Apalagi kartu identitas kerap menjadi barang jaminan. Sebuah harga yang terlalu mahal menginggat keping CD atau DVD hanya berharga tak lebih dari Rp. 5.000

Saya sering menonton film di monitor komputer jika hanya menonton sendiri alias tidak nonton bersama istri. Setelah itu, file tersebut langsung dihapus dari flash disk. Simple kan. Seberapa sering sich, kita menonton kembali sebuah film yang sama?

(3) Lebih Nyaman, Burn di keping CD/DVD
Menikmati film di TV jauh lebih nyaman daripada melototi layar komputer atau bahkan layar laptop. Pesawat TV juga menjadikan kita lebih rileks, bisa selonjoran atau bahkan rebahan di ruang keluarga.

Untuk itu, saya harus memburn file film tersebut dalam keping DVD atau CD. Software Nero sangat-sangat membantu, apalagi dengan CD-RW, dimana sebuah keping bisa diburn berkali-kali. Lalu tinggal mainkan di VCD/DVD Player. Sepanjang pengalaman, tidak semua VCD player ternyata support dengan CD yang saya burn. Setidaknya VCD Player milik ortu yang udah kelewat jadul itu hehehehe....

(4) Makin Nyaman lagi, Gunakan VGA to TV Converter.
Nah ini adalah sebuah alat yang "terpaksa" saya beli untuk dapat menikmati (kembali) film. Dikatakan terpaksa karena DVD Player yang biasa digunakan diminta kembali sama empunya, adik kandung saya. Maklum, setelah menikah, adik meminta kembali barang itu. Awalnya saya berniat membeli DVD Player baru. Namun saya justru mendapatkan barang ini ketika browsing di dunia maya. Dan pilihan membeli DVD Player baru terlupakan sudah.

VGA to TV Converter sendiri merupakan alat yang bisa mengubah layar VGA ke layar TV. Dimensinya pun kecil dan hanya memerlukan daya listrik dari USB. Bahkan alat ini tidak memerlukan driver sama sekali. Kebiasaan memburn film pun sudah lewat. Pengoperasional alat ini juga mudah, semudah menyolokan kabel2 di DVD Player. Soal harga, alat ini memang lebih mahal daripada DVD Player.... namun karena kebiasaan saya mengcopy file dari warnet, pilihan pada VGA to TV Converter menjadi lebih tepat.

Kini setidaknya ada beberapa file film yang masih ngendon di flash disk atau harddisk laptop, seperti : sherlock Holmes, Ninja Assassin, District 9, Funny People, , Knowing, My Bloody Valentine, hingga G.I. Joe - The Rise Of Cobra.

sttt..... jangan laporkan saya ke Dirjen HAKI, ya.... heheheh

Monday, February 15, 2010

Seberapak Kaya kah Anda ?

"Bagaimana Anda bisa bicara mengenai ekonomi kerakyatan jika kuda Anda saja bernilai 5 milyar ?"

Mungkin anda masih ingat pertanyaan di atas. Sebuah pertanyaan yang diajukan Kick Andy, eh, Andy Nova dalam sebuah wawancara dengan salah seorang cawapres beberapa waktu lalu. Jika masih ingat, ya sudahlah. Klo tidak ingat, ya gapapa juga. Toh, saya tidak akan membahas orang tersebut. Saya hanya ingin menulis tentang definisi kekayaan.

Mengapa kekayaan menjadi menarik perhatian saya ? Jawabannya sederhana saja, saya sudah jenuh dengan berita kemiskinan yang beredar di media massa, dari masyarakat yang makan nasi aking, kembali mengkonsumsi ubi sebagai makanan pokok, urbanisasi yang menyebabkan banyak preman, penculikan bayi yang dijadikan pengemis, atau berita tentang maraknya dukun cilik karena tiadanya jaminan kesehatan terhadap masyarakat bawah.

Jadi mari kita membicarakan tentang kekayaan saja. Siapapun anda, baik merasa sudah kaya atau belum pasti ingin menjadi (lebih) kaya. Begitu juga dengan saya. Saya pun ingin menjadi kaya dan tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin atau yang dihaluskan menjadi golongan keluarga prasejahtera.

Memelihara kuda, di mata saya, adalah simbol kekayaan. Seekor kuda jauh-jauh berbeda dengan seekor ikan oscar, yang pakannnya cuman belasan ribu yang bisa awet berbulan-bulan. Memelihara kuda haruslah memerlukan lahan luas, pakan yang mahal, biaya pemeliharaan yang tidak sedikit serta pekerja yang bertugas khusus memeliharanya. Oya, saya memelihara ikan oscar yang merupakan warisan mertua. hehehhe..

Ketika kita tahu angka 5 milyar rupiah, betapa terkejutnya bahwa ada juga orang kaya di negeri ini. Mungkin ada belasan orang kaya yang mempunyai hobi yang sama. Duit 5 milyar tidak akan ada artinya jika orang sudah berbicara hobi. Hobi dan duit yang dikeluarkan untuk hobi kayaknya bisa menjadi acuan sederhana bagi kita untuk menilai kekayaan seseorang. Semakin banyak duit yang dikeluarkan untuk hobi, makin kayalah orang tersebut.

Saya pun mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Beberapa tahun lalu, saya sempat mengenal orang-orang yang hobi motor gede. Dan sepanjang pengetahuan saya, duit 50 juta untuk menyalurkan hobi bermoge masih dibilang lumrah. Seorang rider menyatakan hal tersebut, 25 juta untuk harga moge, dan 25 lainnya untuk modif. Ada juga yang memasang tas bagasi dari kulit ular di kanan kiri pembonceng. Ada juga meng- air brush keseluruhan bodi motor yang tentunya berkisar jutaan rupiah. Moge yang saya maksud adalah moge buatan korea. Klo moge yang buatan jepang, amerika atau eropa, harganya bisa belipat-lipat.

Lalu apakah standar kekayaan yang saya yakini ??? Jika ini dipertanyakan pada saya maka saya akan merujuk pada pengalaman masa kecil saya tentang definisi kekayaan.

Definisi kekayaan yang pertama saya anut adalah naik haji. Jika ada seseorang naik haji berarti ia adalah orang kaya. Imajinasi masa kecil saya terhadap orang yang naik haji sudah pasti orang kaya. Pergi ke luar negeri selama beberapa minggu, perjalanan dengan pesawat terbang dan sambutan yang begitu meriah tentunya memerlukan rupiah yang tak sedikit. Wajar saja, saya mempunyai pandangan ini, maklum saya dididik di lingkungan TK dan SD Muhammadiyah.

Pada usia sepuluh tahunan, seorang tetangga membawa mobil masuk dalam kampung yang sempit. Saat itu juga defisini kekayaan berubah di benak saya. Kekayaan adalah memiliki mobil. Seingat saya ada tetangga yang mempunyai mobil "sejenis" jip. Pokoknya keliatan gagah banget mobil itu. Penilaian saya saat itu, tak banyak orang yang mempunyai mobil, dimana saya dan keluarga "harus" mengunakan bus umum sebagai transportasi luar kota.

Memasuki bangku SMP, definisi kekayaan kembali berubah. Sebuah sengketa hukum menjadikan keluarga saya harus "pindah rumah". Saya terlalu kecil saat itu untuk memahami apa arti hukum itu. Yang pasti keluarga saya harus mencari kontrakan karena rumah yang telah dihuni sejak jaman kakek saya telah berpindah tangan. Sejak saat itu memiliki sebuah rumah berarti sebuah kekayaan. Apapun model dan luasnya cukup mejadikan standar kekayaan di mata saya.

Kini, jika anda bertanya pada saya apa definisi kekayaan ..... Saya justru bingung menjawabnya. Anda mungkin lebih puas jika mendapat jawaban dari pejabat atau politisi yang tahu betul apa itu kekayaan (dan kemiskinan), atau bagaimana kekayaan (dan kemiskinan) itu bisa menjadi komoditas politik yang bisa ditawarkan pada masyarakat luas.

Klo anda masih memaksa saya untuk mendefinisikan kekayaan, saya akan menjawab.... selama anda masih diberi rejeki oleh Yang Di Atas dan anda bisa menyisihkan 2,5% untuk zakat, maka sesungguhnya anda termasuk orang kaya. Itu saja....

Saturday, February 06, 2010

Saya dan SBY


Jika di tanya apa hubungan antara saya dan SBY, maka jawabannya ya sederhana saja, antara presiden dan presidennya. Tidak lebih dan tidak kurang. Persoalan bahwa saya tidak memilih SBY atau demokrat dalam pemilu kemaren adalah hal lain. Saya tetap menerima kenyataan bahwa merekalah yang memenangkan pemilu dan menduduki jabatan eksekutif tertinggi di negeri ini. Seperti halnya rapat, saya akan melaksanakan hasil rapat meskipun ide saya ditolak mentah-mentah.


SBY menjadi menarik untuk saya tulis karena adanya situs facebook. Ya, facebook yang anda buka ini, seakan membuka relasi antara saya dan pria kelahiran Pacitan tersebut. ..... Relasi, kayaknya bukan kata yang tepat dech, karena saya juga tidak kenal secara pribadi. Klo saya menuliskan kata interaksi, kayaknya juga kurang tepat, setahu saya SBY tidak mempunyai account, apalagi untuk berteman di situs facebook. Jadi kata apa yang tepat menggambarkan hubungan antara SBY dan saya ???


Yang jelas ada beberapa kali status saya menulis tentang SBY atau demokrat. Dalam Tahun 2010 saja, setidaknya telah tercatat 5 status :


  • SBY punya facebook gak ya? Klo punya, tolong pak presiden baca notes saya yang berjudul "Antara saya, bunda dan prita?" dan jawab pertanyaan rakyatmu ini. (14 januari)

  • dikutip dari notesku "Kampanye Award" Anggota Tim Sukses terburuk : SBY, poltak.... ngomong kacau, suka menyela, berteriak2, satu lagi gak camera face (17 januari)

  • buat lembaga survey yang merilis tingkat kepuasan, saya kok gak pernah disurvey sich... jangan-jangan lembaga ini cuman terima orderan, kayak tukang sablon. mo nulis 70% atau berapa tergantung yang order.... huuuhhh!!! (28 januari)

  • Soeharto mencitrakan pembangunan. SBY membangun pencitraan. Menurutmu, apa bedanya gak sih ??? (28 januari)

  • Presiden itu pemimpin atau tukang ngeluh (5 februari)

Bahkan sebuah tulisan berjudul “Antara Bunda, Prita dan Saya” yang saya upload pada 2 Januari juga mencatut status “Gimana nasib Anggodo yah ? Kok SBY tidak menuntut Anggodo, padahal jelas-jelas namanya dicatut seperti yang kita dengar di sidang MK. Masak SBY kalah sama RS Omni, perkebunan kakao dan pemilik semangka”



Lalu apa menariknya status saya di atas ? Mungkin pertanyaan bisa dijawab oleh para teman yang mengomentari status dan notes di atas. Mungkin anda termasuk salah satu di antaranya…..
Jika pertanyaan kemudian diajukan kepada saya, sesunggunya jawabannya adalah sederhana saya…. Inilah bentuk demokrasi yang bisa saja jalankan…. Bukankah dalam demokrasi, dijamin adanya kebebasan mengeluarkan pendapat.



Dalam dunia yang semakin canggih dan sempit ini, kehadiran facebook menjadi begitu real dalam membangun sebuah interaksi politik dan demokrasi menjadi lebih mudah untuk saya pahami. Interaksi politik bukan semata-mata persoalan pilihan koalisi atau oposisi serta bagi-bagi kursi di kabinet. Begitu juga demokrasi harus dipahami dari sekadar pemilu yang hanya berlangsung lima tahun sekali itu.



Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat; maka facebook adalah “sarana teraktual dan terinteraktif” untuk mewujudkan pemerintahan tersebut. Melalui facebook, saya, anda dan semua member (yang tentunya sebagai rakyat indonesia) dapat memberikan pendapatnya mengenai negeri ini, tentang lembaga politik (Presidennya, DPR), tentang aneka satwa (cicak, buaya, bangsat, gurita, kerbau) atau tentang rumor politik sehar-hari. Dan saya percaya 100%, apapun pendapat anda, inilah bagian dari demokrasi.



Facebook menjadi sebuah institusi yang bisa saya percaya untuk menyalurkan pendapat saya, bisa melalui banyak hal, mulai dari status, notes, groups, hingga pages. Bahkan komentar juga dapat diartikan sebagai sebuah pendapat sang facebooker terhadap wacana yang dilemparkan oleh facebooker lainnya. Kita pun bisa melihat pilihan politik seorang teman melalui berbagai group yang ia ikuti, apakah ia ikut group “SBY lanjutkan” groups “SBY tuntaskan century” atau groups “Mosi tidak percaya pada SBY”



Saya sudah tidak percaya dengan partai politik, ketika partai hanya aktif saat pemilu atau kongres, munas atawa muktamar. Kantor partaipun selalu tampak sepi-sepi aja klo tak ada agenda. Begitu juga saya tak kenal mereka yang duduk di parlemen. Mereka cuma saya lihat fotonya bertebaran memenuhi ruang publik dan menjadi sampah visual saat kampanye berlangsung, selain itu mana ada mereka mengajak saya dalam acara penyaluran aspirasi rakyat (duch… redaksionalnya itu). Begitu juga dengan pemilu yang hanya memilih seseorang berkuasa tanpa pernah ada kontrol, kecuali jangan dipilih kembali 5 tahun mendatang.



Beruntunglah…. Di tengah ketidakpercayaan saya pada pemilu, partai politik hingga lembaga politik….. saya masih bisa (belajar) berdemokrasi melalui facebook. Saya belajar untuk menyalurkan pendapat saya sebagai rakyat melalui status. Saya memimpikan pemerintahan yang lebih baik seperti yang saya tulis melalui notes. Saya menyatakan “koalisi” atau “opposisi” atas pendapat facebooker lainnya melalui comment.



Jadi tunggu saja tahun depan…. Saya akan mendirikan Partai Facebook Indonesia… wakakakakakkaka.