Minggu kemaren, saya dan keluarga tengah wisata kuliner di Rowo Jombo. Kami menikmati santapan ikan air tawar di kawasan rumah makan terapung pada sebuah danau di Klaten Selatan. Namun bukan soal selera makanan yang saya hendak ceritakan. Namun justru ketika perjalanan pulang ke Jogja, saya dan abah (sebutan untuk orang tua laki-laki) melihat berbagai bencana yang terjadi di Kota Jogja dan sekitar.
Dalam perjalanan pulang tersebut, saya telah melihat tiga bencana sekaligus dalam kurun waktu tak kurang dari tiga jam. Musibah pertama yang saya saksikan adalah gempa bumi yang melanda Jogja dan Klaten pada Mei 2006 lalu. Selanjutnya pesawat Garuda GA 200 yang meledak dan terbakar di Bandara Adisucipto, satu minggu lalu. Terahkir bencana alam puting beliung yang menghajar daerah Lempuyangan, Jogja; sekitar satu bulan silam.
Awalnya, saya dan keluarga memutuskan untuk berkendara mengelilingi danau. Mumpung ada waktu luang dan masih agak sore (sekitar jam 3 sore) kami memutuskan untuk melihat kawasan wisata kuliner tersebut. Namun dalam perjalanan pulang, kami sadar bahwa jalan yang ditempuh berbeda dengan jalan yang diambil ketika berangkat. Kami nyasar ke jalan menuju kota Wonosari, Gunungkidul. Setelah bertanya beberapa kali ke penduduk sekitar, kami pun memutuskan untuk kembali mengambil rute Klaten-Jogja.
Dalam perjalanan tersebut, kami melewati Bayat, Klaten Selatan yang termasuk dalam daerah yang tergolong parah akibat terkena gempa teknonik. Beberapa bangunan masih teronggok begitu saja di kanan kiri jalan yang saya lalui. Sebagian rumah yang roboh akibat gempa masih menyisakan pondasi dan sisa-sisa reruntuhan. Terlihat pula tembok yang pecah dan memperlihatkan ruangan yang telah kosong. Terlihat pula atap rumah yang telah rubuh (atau telah dirubuhkan). Saya menjumpai pula peringatan tertulis pada pagar tembok di sisi jalan "Awas pagar runtuh!".
Namun yang lebih menyedihkan, saya masih melihat sebuah tenda berdiri di antara puing-puing rumah. Beragam pertanyaan mengelayut di pikiran saya, apakah tenda itu dipakai si pemilik untuk tidur dan beragam aktifitasnya, atau sekadar untuk menyimpan barang saja? Atau bantuan pemerintah untuk membangun rumah kembali belom sepenuhnya diterima? Atau ada hal lain yang belum saya ketahui?
Setelah kembali pada jalan yang benar (maksud saya jalan Raya Jogja-Solo), saya dan abah memutuskan untuk melihat musibah terbakarnya pesawat Garuda GA 200. Posisi jatuhnya pesawat terletak di dekat Bandara Adisucipto yang searah dengan perjalanan pulang. Saat melintasi Gapura AAU (Akademi Angkatan Udara), saya melihat telah banyak motor parkir di pinggir jalan. Sebuah kertas menempel di sebuah tiang listrik bertuliskan "tempat parkir musibah pesawat terbakar", lengkap dengan gambar pesawat terbang.
Untuk sampai lokasi, saya pun harus berjalan sekitar 500 m dengan melewati pinggir sawah, melompat aliran irigasi, menerobos rimbunan pohon pisang, hingga menyebrangi rel kereta api. Kondisi jalan tak mulus, selain agak licin juga menanjak. Saya merasa kasihan dengan abah ketika harus melewati itu semua. Tapi karena rasa ingin tahu dan banyaknya orang yang ingin menonton, kendala tersebut sedikit tak terasa.
Akhirnya saya bisa melihat secara langsung bangkai garuda. Pesawat berada tepat di tengah sawah. Saya melihat dari sekitar jarak 50 meter dan di pinggir sawah. Pita kuning bertuliskan "Police Line"(?) mengelilingi area tersebut. Beberapa POM AU (semacam Polisi Militer?) tampak berjaga-jaga. Badan pesawat sendiri telah hangus dan terbelah, turbin mesin tergeletak sekitar 20 meter dari badan pesawat. Beberapa orang tampak memotong badan pesawat dengan bantuan alat las. Jika angin berhempus ke arah saya, bau karbit akan tercium kuat.
Lokasi jatuhnya Garuda seakan telah menjadi ajang wisata. Saya melihat rombongan keluarga lengkap dengan anak balita, pasangan muda juga terlihat bergandengan, serta beberapa remaja tanggung usia. Bahkan saya melihat seorang penjual balon dan mainan anak. Terlihat pula seorang penjual siomay tengah melayani beberapa pembeli.
Musibah tersebut juga memberi keuntungan buat beberapa pemuda dengan menjadi tukang parkir. Meski dengan seragam warna orange, mereka menarik ongkos lebih kepada pengendara motor. Dua lembar ribuan pun pindah dari dompet saya ke para tukang parkir dadakan. Saat itu, mungkin ada sekitar 100 motor tampak parkir di kanan kiri gapura menuju AAU.
Tentang gapura AAU sendiri, ternyata menyimpang sebuah kenangan tentang bencana lain. Gapura AAU berwujud burung garuda, Dengan bentangan sayap yang lebar. Namun sayap di sebelah timur tampak roboh, akibat angin ribut (bukan angin puting beliung) yang terjadi beberapa tahun silam. Meski telah diperbaiki, namun sayap burung garuda tersebut tampak tidak simetris, sayap kanan lebih merebah dibandingkan sayap sebelahnya.
Setelah melihat bangkai garuda, sayapun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Di persimpangan jalan Galeria Mall, saya memutuskan untuk berbelok kiri, padahal jalan ke rumah jalan terus. Saya memutuskan untuk melintasi daerah Lempuyangan. Di daerah tersebut, beberapa minggu lalu, terjadi musibah angin puting beliung yang sangat besar dan meluluh lantakkan sebagian kecil kota Jogja.
Kamipun melintasi di Jembatan Layang (di jakarta disebut fly over) Lempuyangan. Melalui pemandangan dari atas tersebut, kami dapat melihat beberapa atap bangunan tampak melompong kosong. Atap itulah yang saya kira hilang, diterbangkan oleh angin puting beliung. Saya tak tau persis bangunan apa yang atapnya terbang tersebut. Mungkin milik instansi pemerintah atau militer. Di Bioskop Mataram papan baliho yang biasa berdiri 4-5 baliho film, cuma terlihat satu baliho film. Papan baliho tersebut merupakan saksi nyata dari amukan puting beliung yang melantakkan kota Jogja.
Musibah angin puting beliung sebenarnya telah terjadi beberapa minggu lalu. Puing-puing bangunan yang diterbangkan sang angin telah dibersihkan. Begitu juga dengan pohon-pohon yang roboh atau tercabut. Saat bencana terjadi, lalu lintas di sekitarnya mengalami kemacetan akibat pohon yang menutupi jalan.
Sesampainya di rumah, saya hanya bisa tertegun. Kota Jogja (dan juga Indonesia) tengah dilanda musibah yang tidak ada henti-hentinya. Bagi yang beriman, berbagai musibah tersebut adalah ujian dari Yang Maha Tunggal. Doa saya (tentu juga Anda!), bangsa Indonesia bisa tabah dan lolos dari cobaan ini. Amin.
Rock d World!
rio_nisafa
[tentang 07/mar3]
No comments:
Post a Comment