" mas, ini warna apa ? hijau atau biru ? "
" hmmmm itu cyan! "
" opo maneh kuwi ? "
Dialog singkat itu terjadi beberapa waklu lalu di kantor saya. Seorang rekan bertanya tentang warna yang ia pakai untuk memblok sebuah cell di aplikasi excel. Alih-alih mendapat jawaban atas warna yang ia tanya, sebuah pertanyaan malah kembali ia ajukan. tampaknya ia belum pernah pernah mendengar kata "cyan".
Persoalan warna memang terlihat sekilas gampang, tapi bagi saya warna telah menjadi perkara yang rumit, komplek tapi penuh tantangan. Menjawab pertanyaan seorang rekan di atas memang gampang. Namun sulit jika kemudian persoalan warna bukan menjelaskan sebuah nama warna. Banyak hal perkara yang kemudian menjadikan warna itu berkembang menjadi persoalan teknis, identitas bisnis, hingga enti tas ideologis.
Menapaki karir di dunia media massa, saya sempat tergagap dengan persoalan warna yang akan di keluar di tabloid. Meski memangku jabatan sebagai wartawan, saya tertarik dengan persoalan warna. Ternyata dari tiga komputer yang ada di bagian design (untuk lay out tabloid) tidak mampu menanpilkan warna yang sama. Sebuah warna kuning di komputer A, akan terlihat di seperti orange di komputer B, dan tampak pucat di komputer C.
Persoalan ini sebenarnya sederhana jika, ketiga komputer telah dikalibrasi, sebuah proses untuk menyamakan warna di komputer dengan warna cetakan. Namun langkah ini tidak dilakukan oleh kantor saya. Bagi boss saya, hal ini bukanlah perkara besar, yang penting baginya adalah meraih omzet iklan sebesar-besarnya. Walhasil ketika tabloid tersebut sudah cetak, kami hanya mencocokkan warna yang tercetak di kertas buram sekian gram dengan warna di monitor komputer. Dari ketiga monitor, kita pilih yang paling mendekati.
Masih di tempat kerja yang sama, saya pernah menjumpai "Colour Book". Buku ini sebenarnya cuman menampilkan ribuan warna dengan detail CMYK. CMYK sendiri merupakan standar warna yang digunakan untuk percetakan. Dalam standar CMYK, sebuah warna merupakan kombinasi atas 4 warna Cyan, Magenta, Yellow dan Black.
Dua tahun kerja di Jakarta, di sebuah prinscipal otomotif nasional, persoalan warna kemudian berkembang lebih rumit. Ketika ada pergantian logo di tempat kerja, saya termasuk orang yang rada puyeng. Ketika dipilih warna merah sebagai warna logo, timbul pertanyaan panjang. "Ini merah apa?". Klo warna merah di komputer, dengan mudah terjawab M=100, Y=100, tapi permasahannya ketika warna tersebut diterapkan di media lain, seperti logam. Standar warna merah ternyata berbeda. Walhasil kita harus mengecek belasan plat logam dengan variasi warna merah.
Selain itu ada standar warna PANTONE, klo tak salah warna ini digunakan untuk stiker. standar warna ini juga sempat membingungkan juga. variasi warna merah lebih banyak dari yang ditawarkan di plat logam di atas. Ada juga standar warna RGB yang digunakan untuk tampilan untuk website. Belum lagi untuk warna cat, beda merk, beda standar. ufff....
Warna bukan saja perkara ini hitam, atau itu putih, tetapi telah menjadi identitas bagi perusahaan tempat saya bekerja. sebuah warna mempunyai nilai psikologis tersendiri. Merah berarti semangat, kuning bermakna kejayaan, hijau memberi ketenangan, putih adalah suci dan sebagainya.
Sebenarnya ada persoalan warna yang tak kalah pelik, warna kemudian menjadi entitas dari sebuah ideologi. Sebuah partai politik bisa dilihat apakah ia partai merah, hijau, kuning, biru, putih, atau justru abu-abu. Klo resiko persoalan warna yang saya ceritakan di atas paling besar adalah dimarahin boss, diomelin klien, atau cetak ulang. Klo persoalan ideologi (dan partai politik, gerakan massa, organisasi sosial) perkaranya lebih rumit, dan makin susah untuk dijelaskan.
[tentang 10/juni2]
Rock d World!
rio_nisafa
" hmmmm itu cyan! "
" opo maneh kuwi ? "
Dialog singkat itu terjadi beberapa waklu lalu di kantor saya. Seorang rekan bertanya tentang warna yang ia pakai untuk memblok sebuah cell di aplikasi excel. Alih-alih mendapat jawaban atas warna yang ia tanya, sebuah pertanyaan malah kembali ia ajukan. tampaknya ia belum pernah pernah mendengar kata "cyan".
Persoalan warna memang terlihat sekilas gampang, tapi bagi saya warna telah menjadi perkara yang rumit, komplek tapi penuh tantangan. Menjawab pertanyaan seorang rekan di atas memang gampang. Namun sulit jika kemudian persoalan warna bukan menjelaskan sebuah nama warna. Banyak hal perkara yang kemudian menjadikan warna itu berkembang menjadi persoalan teknis, identitas bisnis, hingga enti tas ideologis.
Menapaki karir di dunia media massa, saya sempat tergagap dengan persoalan warna yang akan di keluar di tabloid. Meski memangku jabatan sebagai wartawan, saya tertarik dengan persoalan warna. Ternyata dari tiga komputer yang ada di bagian design (untuk lay out tabloid) tidak mampu menanpilkan warna yang sama. Sebuah warna kuning di komputer A, akan terlihat di seperti orange di komputer B, dan tampak pucat di komputer C.
Persoalan ini sebenarnya sederhana jika, ketiga komputer telah dikalibrasi, sebuah proses untuk menyamakan warna di komputer dengan warna cetakan. Namun langkah ini tidak dilakukan oleh kantor saya. Bagi boss saya, hal ini bukanlah perkara besar, yang penting baginya adalah meraih omzet iklan sebesar-besarnya. Walhasil ketika tabloid tersebut sudah cetak, kami hanya mencocokkan warna yang tercetak di kertas buram sekian gram dengan warna di monitor komputer. Dari ketiga monitor, kita pilih yang paling mendekati.
Masih di tempat kerja yang sama, saya pernah menjumpai "Colour Book". Buku ini sebenarnya cuman menampilkan ribuan warna dengan detail CMYK. CMYK sendiri merupakan standar warna yang digunakan untuk percetakan. Dalam standar CMYK, sebuah warna merupakan kombinasi atas 4 warna Cyan, Magenta, Yellow dan Black.
Dua tahun kerja di Jakarta, di sebuah prinscipal otomotif nasional, persoalan warna kemudian berkembang lebih rumit. Ketika ada pergantian logo di tempat kerja, saya termasuk orang yang rada puyeng. Ketika dipilih warna merah sebagai warna logo, timbul pertanyaan panjang. "Ini merah apa?". Klo warna merah di komputer, dengan mudah terjawab M=100, Y=100, tapi permasahannya ketika warna tersebut diterapkan di media lain, seperti logam. Standar warna merah ternyata berbeda. Walhasil kita harus mengecek belasan plat logam dengan variasi warna merah.
Selain itu ada standar warna PANTONE, klo tak salah warna ini digunakan untuk stiker. standar warna ini juga sempat membingungkan juga. variasi warna merah lebih banyak dari yang ditawarkan di plat logam di atas. Ada juga standar warna RGB yang digunakan untuk tampilan untuk website. Belum lagi untuk warna cat, beda merk, beda standar. ufff....
Warna bukan saja perkara ini hitam, atau itu putih, tetapi telah menjadi identitas bagi perusahaan tempat saya bekerja. sebuah warna mempunyai nilai psikologis tersendiri. Merah berarti semangat, kuning bermakna kejayaan, hijau memberi ketenangan, putih adalah suci dan sebagainya.
Sebenarnya ada persoalan warna yang tak kalah pelik, warna kemudian menjadi entitas dari sebuah ideologi. Sebuah partai politik bisa dilihat apakah ia partai merah, hijau, kuning, biru, putih, atau justru abu-abu. Klo resiko persoalan warna yang saya ceritakan di atas paling besar adalah dimarahin boss, diomelin klien, atau cetak ulang. Klo persoalan ideologi (dan partai politik, gerakan massa, organisasi sosial) perkaranya lebih rumit, dan makin susah untuk dijelaskan.
[tentang 10/juni2]
Rock d World!
rio_nisafa
No comments:
Post a Comment