"Bagaimana Anda bisa bicara mengenai ekonomi kerakyatan jika kuda Anda saja bernilai 5 milyar ?"
Mungkin anda masih ingat pertanyaan di atas. Sebuah pertanyaan yang diajukan Kick Andy, eh, Andy Nova dalam sebuah wawancara dengan salah seorang cawapres beberapa waktu lalu. Jika masih ingat, ya sudahlah. Klo tidak ingat, ya gapapa juga. Toh, saya tidak akan membahas orang tersebut. Saya hanya ingin menulis tentang definisi kekayaan.
Mengapa kekayaan menjadi menarik perhatian saya ? Jawabannya sederhana saja, saya sudah jenuh dengan berita kemiskinan yang beredar di media massa, dari masyarakat yang makan nasi aking, kembali mengkonsumsi ubi sebagai makanan pokok, urbanisasi yang menyebabkan banyak preman, penculikan bayi yang dijadikan pengemis, atau berita tentang maraknya dukun cilik karena tiadanya jaminan kesehatan terhadap masyarakat bawah.
Jadi mari kita membicarakan tentang kekayaan saja. Siapapun anda, baik merasa sudah kaya atau belum pasti ingin menjadi (lebih) kaya. Begitu juga dengan saya. Saya pun ingin menjadi kaya dan tidak termasuk dalam kelompok masyarakat miskin atau yang dihaluskan menjadi golongan keluarga prasejahtera.
Memelihara kuda, di mata saya, adalah simbol kekayaan. Seekor kuda jauh-jauh berbeda dengan seekor ikan oscar, yang pakannnya cuman belasan ribu yang bisa awet berbulan-bulan. Memelihara kuda haruslah memerlukan lahan luas, pakan yang mahal, biaya pemeliharaan yang tidak sedikit serta pekerja yang bertugas khusus memeliharanya. Oya, saya memelihara ikan oscar yang merupakan warisan mertua. hehehhe..
Ketika kita tahu angka 5 milyar rupiah, betapa terkejutnya bahwa ada juga orang kaya di negeri ini. Mungkin ada belasan orang kaya yang mempunyai hobi yang sama. Duit 5 milyar tidak akan ada artinya jika orang sudah berbicara hobi. Hobi dan duit yang dikeluarkan untuk hobi kayaknya bisa menjadi acuan sederhana bagi kita untuk menilai kekayaan seseorang. Semakin banyak duit yang dikeluarkan untuk hobi, makin kayalah orang tersebut.
Saya pun mempunyai pengalaman mengenai hal ini. Beberapa tahun lalu, saya sempat mengenal orang-orang yang hobi motor gede. Dan sepanjang pengetahuan saya, duit 50 juta untuk menyalurkan hobi bermoge masih dibilang lumrah. Seorang rider menyatakan hal tersebut, 25 juta untuk harga moge, dan 25 lainnya untuk modif. Ada juga yang memasang tas bagasi dari kulit ular di kanan kiri pembonceng. Ada juga meng- air brush keseluruhan bodi motor yang tentunya berkisar jutaan rupiah. Moge yang saya maksud adalah moge buatan korea. Klo moge yang buatan jepang, amerika atau eropa, harganya bisa belipat-lipat.
Lalu apakah standar kekayaan yang saya yakini ??? Jika ini dipertanyakan pada saya maka saya akan merujuk pada pengalaman masa kecil saya tentang definisi kekayaan.
Definisi kekayaan yang pertama saya anut adalah naik haji. Jika ada seseorang naik haji berarti ia adalah orang kaya. Imajinasi masa kecil saya terhadap orang yang naik haji sudah pasti orang kaya. Pergi ke luar negeri selama beberapa minggu, perjalanan dengan pesawat terbang dan sambutan yang begitu meriah tentunya memerlukan rupiah yang tak sedikit. Wajar saja, saya mempunyai pandangan ini, maklum saya dididik di lingkungan TK dan SD Muhammadiyah.
Pada usia sepuluh tahunan, seorang tetangga membawa mobil masuk dalam kampung yang sempit. Saat itu juga defisini kekayaan berubah di benak saya. Kekayaan adalah memiliki mobil. Seingat saya ada tetangga yang mempunyai mobil "sejenis" jip. Pokoknya keliatan gagah banget mobil itu. Penilaian saya saat itu, tak banyak orang yang mempunyai mobil, dimana saya dan keluarga "harus" mengunakan bus umum sebagai transportasi luar kota.
Memasuki bangku SMP, definisi kekayaan kembali berubah. Sebuah sengketa hukum menjadikan keluarga saya harus "pindah rumah". Saya terlalu kecil saat itu untuk memahami apa arti hukum itu. Yang pasti keluarga saya harus mencari kontrakan karena rumah yang telah dihuni sejak jaman kakek saya telah berpindah tangan. Sejak saat itu memiliki sebuah rumah berarti sebuah kekayaan. Apapun model dan luasnya cukup mejadikan standar kekayaan di mata saya.
Kini, jika anda bertanya pada saya apa definisi kekayaan ..... Saya justru bingung menjawabnya. Anda mungkin lebih puas jika mendapat jawaban dari pejabat atau politisi yang tahu betul apa itu kekayaan (dan kemiskinan), atau bagaimana kekayaan (dan kemiskinan) itu bisa menjadi komoditas politik yang bisa ditawarkan pada masyarakat luas.
Klo anda masih memaksa saya untuk mendefinisikan kekayaan, saya akan menjawab.... selama anda masih diberi rejeki oleh Yang Di Atas dan anda bisa menyisihkan 2,5% untuk zakat, maka sesungguhnya anda termasuk orang kaya. Itu saja....
No comments:
Post a Comment