Besok ( Sabtu, 3 Juli), Muhammadiyah akan mengelar hajatan besar " Muktamar Seabad Muhammadiyah" di Yogyakarta, kota kelahirannya. Telah banyak peserta muktamar dan pengembira sudah banyak berdatangan. Tadi pagi saya melihat beberapa bus memasuki kota dengan bendera Muhammadiyah. Seluruh penjuru kota dimeriahkan dengan deretan bendera hijau, balon udara, lampu spot light, hingga ucapan spanduk selamat bermuktamar. Di beberapa daerah, saya juga menjumpai posko. Organisasi Islam (ter)besar di republik ini tengah mengelar rangkaian agenda akbar dalam moment yang sangat besar.
Oke, tulisan ini tidak akan berlanjut ttg Muhammadiyah, karena anda bisa surfing langsung ke http://www.seabadmuhammadiyah.com/ atau http://www.muhammadiyah.or.id/ Serta banyak kajian ilmiah tentang Muhammadiyah di negeri ini.
Saya akan bercerita tentang Saya dan Muhammadiyah saja. Sebuah pengalaman pribadi yang terus berlangsung hingga saat ini. Sebenarnya saya pun bukan anggota Muhammadiyah yang mempunyai hak suara dalam muktamar atau aktif dalam organisasi tersebut. Saya merasa bagian dari "umat" Muhammadiyah tanpa terlibat di dalamnya.
Mengapa saya merasa Muhammadiyah ? Pertanyaan terjawab karena saya pernah sekolah di TK ABA Mubaroq dan SD Muhammadiyah Ngupasan I di Yogyakarta. Harapan orang tua agar saya mendapat bekal pengetahuan agama di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah ini. Hal ini terlihat dari porsi pendidikan agama yang sangat besar dalam proses pelajaran. Jika di SD Negeri/Inpres pelajaran agama cuman 2 jam/seminggu; di SD saya pelajaran agama bisa 6-8 jam / minggu. Nama mata pelajarannya pun bukan "Pendidikan Agama Islam" seperti di SD Negeri, tetapi sudah sangat spesifik seperti tauhid, ahlak, iqro, kemuhammadiyahan, hingga menulis huruf arab di 'buku halus'.
Sekolah saya juga berada di jantung Muhammadiyah, berada di utara kampung Kauman, sebelah timur RS PKU dan hanya beberapa meter dari jalan KHA Dahlan. Di belakang sekolah terdapat gedung Pimpinan Pusat Aisyiyah. Tak jauh, terdapat kantor redaksi Majalah Suara Muhammadiyah. Beberapa teman SD saya juga aktif dalam beladiri Tapak Suci.
Saya masih ingat betul, pada hari Senin dan Kamis, para murid mengunakan busana muslim. bercelana panjang dan berpeci bagi murid laki-laki dan bejilbab bagi murid perempuan. Hari libur sekolah pun jatuh pada hari Jumat. Namun saat saya kelas 6, hari libur berganti menjadi hari Ahad. Jadi pada masa kecil, saya jarang menonton Unyil karena memang masih jam sekolah. hehehe....
Namun ada hal unik lainnya, hari Ahad kedua setiap bulannya, SD kami pulang awal. Hal ini disebabkan karena adanya pengajian rutin yang digelar oleh Muhammadiyah di gedung PDHI, sebrang alun-alun utara. Pulangnya sekitar jam istirahat pertama atau ke dua.
Oya, saat saya SD saya tinggal di kampung Ketandan, yang terletak antara jalan Malioboro dengan Hotel Melia Purosani. Di kampung ini hanya ada dua etnis, etnis Banjar beragama muslim dan etnis Cina. Anak-anak etnis Banjar bersekolah di SD Muhammadiyah, sedang etnis Cina sekolah di Sekolah yang mayoritasnya etnis cina juga. Nah, bagi anak etnis Jawa (minoritas) bersekolah di SD Negeri. Di kampung ini pula tidak ada tradisi tahlilan untuk mendoakan seseorang yang telah meninggal. Tahlilan bukanlah tradisi yang dilakukan Muhammadiyah.
Lulus dari SD, saya melanjutkan ke SMP, SMA dan Universitas Negeri. Mungkin karena nilai akademik yang lumayan, saya bisa masuk ke Sekolah Negeri walaupun tidak favorit ( hehehhehehe). Namun kedekatan dengan Muhammadiyah tidak putus seiring dengan strata pendidikan yang saya lalui.
Pada saat SMP hingga SMA, saya bermukim di kampung Purwodiningratan, sebuah kampung yang berada di antara Jl. KHA Dahlan hingga JL KS Tubun yang terkenal dengan kawasan oleh-oleh Bakpia. Kampung inipun ternyata sangat kental bernuansa Muhammadiyah. Di dalam kampung ini terdapat kompleks perguruan Muhammadiyah, dari TK, TPA, SD, SMP hingga SMA. Tepat di selatan, terdapat "Gedoeng "Moehammadiyah" dengan ejaan lama.
Kehidupan di kampung ini terlihat relijius. Toh, kampung ini juga merupakan kampung basis Muhammadiyah seperti kampung Kauman dan Surotanan. Tradisi "tahlilan" juga tidak dilakukan di kampung ini. Namun begitu, terdapat pengajian anak-anak dan remaja tiap malam Jumat selalu diadakan di rumah-rumah penduduk secara bergantian. Di kampung ini juga terdapat TPA (Taman Pendidikan Al Quran) yang tergolong pioner pada jamannya.
(bersambung ahh.....)
No comments:
Post a Comment