1. Apakah Media Cetak itu Bisa Gratis?
Saat belajar komunikasi di Bulaksumur(1996-2002), media cetak gratisan masih dikategorikan sebagai "media misionaris". Sebuah media yang diterbitkan untuk menyampaikan misi atau agenda tertentu dari penerbitnya. Sebut saja media internal perusahaan yang hanya medium sosialisasi kebijakan sang stakeholder atau berita pencapaiaan kinerja dari perusahaan tersebut. Contoh lain majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah yang berisi keputusan perundangan-undangan; hingga newsletter buatan LSM guna advokasi dan edukasi pembacanya. Media tersebut dibiayai oleh institusi yang menerbitkannya dengan content yang sarat kepentingan. Media cetak gratisan kemudian dibandingkan dengan media komersil yang diorientasikan pada pembaca dengan motif keuntungan bisnis dibelakangnya.
Namun saya berpikir, bahwa media cetak pun sebenarnya bisa gratisan... bukankah radio, tivi dan internet juga bisa diakses secara gratis. Klopun alasannya bahwa media cetak butuh biaya cetak dan distribusi, bukankah media elektronik dan web juga butuh biaya operasional ?. Mungkin sekali lagi mungkin, ini berkaitan dengan kebijakan orde baru yang sangat mengekang media. eh, jadi inget om harmoko (wekekekke)
2. Konon Kompas Bisa Gratis, sekali lagi konon.
Konon, Harian Kompas bisa diterbitkan secara gratis. Banyaknya iklan dan mahalnya iklan di media tersebut, jauh lebih besar dari biaya operasional yang dikeluarkan (plus keuntungan yang diperoleh) oleh grup Gramedia. Para pembaca tidak perlu berlangganan atau membeli eceran jika ingin membacanya. Tapi ini konon, karena saya lupa dari siapa asumsi ini keluar. Apakah dosen saya ataukah mantan bos saya saat di biro periklanan dulu ? Yang jelas bukan dari pihak Kompas atau Gramedia sendiri.
Setidaknya pendapat ini mendukung asumsi saya, bahwa media cetak juga bisa gratis, tanpa diembel-embeli kepentingan tertentu oleh penerbitnya. Atau bisa saja, Kompas memang tidak menerbitkan secara gratis karena pertimbangan mencari keuntungan yang lebih besar, subsidi silang dengan media yang belum profit atau juga kompas memang menerapkan harga jual untuk menyasar segmen pembaca tertentu.
3. Jadi wartawan di Media Gratisan
Ahkirnya, saya bekerja di media cetak gratisan(2001-2002). Bukan media berskala nasional yang berhome base di Jakarta. Tetapi sebuah tabloid 16 halaman (awalnya malah cuman 8 halaman) yang terbit di kota Yogyakarta. Kantornya pun berada di garasi dalam arti harfiah. Nama medianya adalah Mall, yang oleh bos saya (pemilik tunggal) berarti media alternatif. Ia menyebut sebagai media alternatif karena media ini diharapkan mejadi pilihan beriklan dari harian Kedaulatan Rakyat yang sangat mendominasi iklan cetak di kota Yogyakarta. Padahal bos saya itu sebenarnya juga juragan biro iklan lokal yang sebagain besar media placementnya di Harian tersebut.
Awalnya saya bertugas di wartawan "sorangan". maklum ini hanya side job dari biro iklan tersebut. Toh, terbitnya juga bulanan dan hanya edar di Yogyakarta dan sekitarnya . Mall "hanya" berisi liputan mengenai ekonomi bisnis, profil perusahaan, profil produk, hingga sosok pengusaha. kebanyakan juga masih relasi dari biro iklan sendiri. Mengenai BEP, saya menjuga belum balik modal. Tapi saya juga menduga ini hanyalah service tambahan yang diberikan oleh agency kepada klien setianya.
4. Berburu sampai Cibubur
Resign dari media tersebut, dan terdampar bekerja "magang" di Biro Iklan di jakarta (2003). Saya masih terobsesi dengan media gratisan. Dan ternyata media seperti Mall sudah banyak beredar di Jakarta. Oya sebenarnya di Jogja, juga ada 2 media sejenis, yakni "Jogja Pariwara" dan "Yogya Ad". Di Jakarta, distribusi tabloid gratisan ini tersebar dimana-mana, terutama perumahan. Ahkirnya saya memberanikan diri bertandang ke salah satu redaksinya... saya agak lupa nama medianya. yang saya ingat hanyalah media ini lebih banyak menampilkan iklan baris, katalog mobil dan rumah di jual. Sedangkan dari sisi berita, sangatlah minim.
Saya bertemu dengan redaktur media tersebut (damn... namanyapun lupa) di sebuah resto yang berada satu komplek dengan SPBU di Cibubur. Di sebelah SPBU itu ada danau dan pintu tol. Kita pun terlibat dalam diskusi yang menarik, pembandingkan media hingga membaca prospek pasar. Media cetak gratisan nampaknya sangat menarik dan mempunyai pangsa pasar yang cerah.
Saya juga sempat mengunjungi sejumlah teman dan meminta sejumlah media gratisan yang ia punya. Sebelumnya saya memang pernah meminta tolong agar menyimpan media gratisan untuk saya. Ada sekian banyak media yang sempat saya miliki, dengan beragam jenisnya. dari format tabloid, majalah, hingga booklet.
5. Membuat Tabloid Gratis, eh Brosur.
Kembali bekerja di Jakarta, tepatnya di prinsipal sepeda motor mengasah kembali kemampuan saya dalam membuat media (2004-2005). Bagaimana tidak, saat Pekan Raya Jakarta, kantor saya menerbitkan sebuah brosur dengan format tabloid 4 halaman. Ini artinya cuman 1 lembar bolak-balik. Hampir 100% media ini saya kerjakan sendiri. mulai dari redaksi, artistik hingga layout. order ke percetakannya pun sedikit banyak saya terlibat. Hasilnya memang keliatan. Setidaknya nama saya gak cuman sekali numpang nampang di box redaksi... hehehe
Setelah sukses menerbitkan media ini, saya menyimpan obsesi untuk menerbitkan media internal, yang kelak diedarkan ke konsumen, dealer, bengkel, klub hingga konsumen langsung. Namun saat saya meninggalkan perusahaan ini, proposal saya entah jatuh ke tangan siapa. Mungkin jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat. Hehehe. Setidaknya saya mulai merangkak untuk menerbitkan sebuah media cetak gratisan
6. Tak sekadar Windows Shopping
Masih di Jakarta, setiap waktu luang di week end, saya selalu menyempatkan windows shopping ke berbagai mall. Tujuan saya hanya sekedar jalan-jalan, gak belanja :p Refershing diantara hari-hari melelahkan bekerja. Namun saya juga "belajar" mengenai aktivitas Advertisingg & Promotion di dalam mall, entah launching produk, sales promo dan tentu saja berburu majalah gratisan. Hal terakhir menjadi wajib hukumnya jika saya nge-mall. hehehe
Ada dua jenis media yang saya buru. pertama In House Magazine. sebuah media yang diterbitkan oleh mall bersangkutan. saya menginggat ada empat mall yang menerbitkannya; Plaza Indonesia, Plasa Senayan, Mall Kepala Gading dan Pondok Indah Mall (saat itu masih ada satu). PS, majalah terbitan Plasa Senayan adalah favorit saya, karena tak hanya berisi katalog produk, tetapi juga artikel tentang gaya hidup. Jenis kedua, adalah media yang diedarkan di tempat-tempat nongkrong macam resto, cafe dan sebagainya. Biasanya content media ini lebih banyak berkutat dengan gaya hidup, resensi film dan musik, fashion, trend gagdet terbaru, hingga jadwal para Dj di sejumlah tempat dugem. Sampai sekarang saya masih menyimpan sejumlah media tersebut.
7. Obsesi membangun media gratisan
Menjadi birokat empat tahun lalu (2006-Kini) ternyata sedikit banyak mempengaruhi minat dan ketertarikan saya pada media gratisan. Saya sudah tidak berburunya apalagi sampai terlibat dan membuatnya. Mungkin, sedikit obsesi masih tersimpan juga. Entah sampai kapan saya akan tertarik kembali untuk bergelut dengan media. hehehehe
No comments:
Post a Comment