Pernahkan Anda menatap langit ? Meluangkan sejenak waktu untuk merebahkan diri di tanah dan menatap lurus ke arah langit ? Jika belum, saya sarankan Anda untuk melakukannya. Malam ini, jika langit cerah, keluarlah dari rumah dan mulailah menatap langit sembari merebahkan badan. Sore hari pun juga tak mengapa. Namun jika Anda pernah melakukan, tak ada salahnya juga jika saya berbagi pengalaman menatap langit.
Pengalaman menatap langit pertama kali saya lakukan saat saya masih SMP. Tepatnya saat saya mengikuti kegiatan bela diri. Nah, pada saat pemanasan, biasa seluruh peserta (tak memandang level sabuk) akan melakukan bersama-sama. Termasuk saya tentunya. Salah satu aktivitas pemanasan adalah gerakan "sit up", mengerakkan tubuh dari tidur terlentang ke posisi mencium lutut.
Nah, karena masih sabuk putih, level paling rendah, hitungan sit up saya tak mencapai diatas angka 10. Ketika para senior terus melakukan sit up, sayapun merebahkan diri di tanah lapang, di alam terbuka. Sayapun dapat melihat langit sore yang sangat indah. Terkadang awan berarak beriringan dan ada kalanya langit cerah tanpa awan. Meski sejenak, saya saya dapat memandangi luasnya bentangan langit sebelum senja turun.
Bahkan Ketika perguruan kami menggelar latihan bersama (yang diikuti cabang lain) di Pantai Parangkusumo, memandang langit di sela rehat juga saya nikmati. Bedanya kali ini, saya rebahan di pasir pantai. Cuacanya pun lebih panas dan kulit kepala jadi lebih gatal. Namun rebahan di sebuah padang pasir (dalam arti sebenarnya) membuat saya semakin sadar bahwa saya ini tidak artinya jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta. kebetulan tempat saya latihan itu, merupakan "gumuk pasir", sebuah padang luas dengan beberapa bukit2 pasir luas membentang.
Memandang langit di malam hari pun, pernah saya alami. Kala itu, angkatan saya di kuliahtengah mengelar "Great Camping" semacam perkemahan untuk mengenalkan mahasiswa baru ke HMJ(Himpunan Mahasiswa Jurusan). Saya, yang menjadi panitia memilih menghabiskan malam di sebuah tenda terbuka yang terletak di pojok. Dengan teman2 dekat, saya menikmati dinginya udara malam di Kaliurang. Di tenda terbuka, kami bisa memandang langit secara bebas. Apalagi malam itu sangat cerah, ribuan bintang yang bertahta di singgasana langit tampak berkedip indah. Membuat kami berharap agar pagi tak lekas menghampiri. Apalagi saat itu, Lilik, karib saya melihat bintang jatuh... wah sayang sekali, saya tak melihat bintang jatuh itu dengan mata saya sendiri.
Tahun 2003, ketika terjadi fenomena "bulan kembar", saya pun memilih begadang semalam untuk menatap langit. Saat itu ramai dibicarakan bahwa Planet Mars, berada di titik paling dekat dengan bumi, menjadikan seolah ada dua bulan di langit malam. Meski planet merah tak seperti yang kami harapkan, saya tetap menikmati kegiatan menatap langit. Bedanya kali ini saya menatap langit tidak di alam terbuka, tetapi di tempat jemuran kost-kostan saya.
Kenangan terahkir menatap langit saya adalah tatkala malam pergantian tahun baru 2007. Bersama sohib saya, Anton, Puji dan Riza, saya memilih menikmati malam akhir tahun di pantai parangtritis. Meski jogja diguyur gerimis pada sorenya, niatan kami ke pantai tetap terlaksana. Sayapun tak lupa rebahan di pasir pantai. Namun sayang, langit masih mendung saat itu, tak ada bintang yang bertabur di angkasa. beberapa saatpun mulai terlihat satu bintang di kaki langit selatan mulai bersinar redup. Tak lama kemudian dua bintang lainnya terlihat tepat di atas kepala kami.
Kami pun berharap agar munculnya bintang menjelang jam 24.00 malam ini menjadi pertanda baik bagi saya dan sahabat saya (termasuk Anda!) di tahun 2007. Semoga.
Kami pun berharap agar munculnya bintang menjelang jam 24.00 malam ini menjadi pertanda baik bagi saya dan sahabat saya (termasuk Anda!) di tahun 2007. Semoga.
Rock d World!
rio_nisafa
rio_nisafa
No comments:
Post a Comment