Saturday, September 22, 2007

[tentang] Percaya saja!!

" duit lu ditaruh dimana ? "
" nggg ....... "
" enggak ditaruh di dalam alquran ???"

Percakapan itu terjadi antara saya dan Ricki, seorang rekan kerja saya, beberapa waktu silam. Ia menanyakan dimana saya menaruh uang saat saya tinggal di rumah bedeng bersama beberapa teman. Kira-kita tiga tahun yang lalu, saya pernah ngontrak sebuah rumah di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Rupanya ia ingin tahu atau malah penasaran dimana saya menaruh uang pribadi saya. Mungkin ia berpikir tinggal dalam satu rumah dengan beberapa orang akan memiliki resiko lebih besar terhadap kehilangan suatu benda, apalagi uang. Ia juga berpikir bahwa dengan menaruh uang di antara halaman kitab suci akan memperkecil resiko tersebut. Seakan-akan "si pencuri uang" akan berpikir beberapa kali ketika mengambil uang yang bukan miliknya.

Namun semua itu hanya ketakutan atau tepat kewaspadaannya semata. Saya sendiri merasa aman-aman saja dengan semua barang-barang milik saya. Tinggal bersama 4 orang teman tidak memberikan saya ketakutan akan kehilangan sesuatu. Begitu juga dengan keempat teman saya.

Padahal saya termasuk orang yang sembarang menaruh dompet saya. Dompet biasa saya letakkan atas lemari plastik, di dalam locker (plastik juga), atau bahkan tetap di saku belakang tatkala celana saya gantungkan. Tidak ada lemari yang terkunci di dalam rumah itu. Begitu juga dengan handphone. Lebih dari itu, saya pernah ninggal sepeda motor selama seminggu ketika mudik lebaran.

.... Maka saya binggung juga ketika mo jawab atau komentar terhadap pertanyaan Ricki di atas. Ketika saya percaya pada teman serumah dan sebaliknya, maka tidak ada yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Saya malah gak menyangka klo ia punya alternatif tempat menyimpan uang, Bagi saya, kitab suci bukan sekedar menakut-nakutkan (secara fisik lagi) seseorang untuk berbuat sesuatu.

Itu lah kepercayaan.... yang nampaknya makin sulit di kehidupan kita saat ini... Bukan saja, melanda Ricki yang kebetulan teman saya. Ia merupakan salah satu bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki masalah besar dalam kepercayaan.

Saya tak perlu bertutur banyak tentang "tingkat kepercayaan" di republik ini. Sebagai perbandingan, saya hanya pernah mendengar beberapa cerita dari negara manca, yang mungkin bisa menjadi teladan bagi kita semua.

Seseorang pernah bercerita, tatkala naik haji, ia pergi ke pasar tradisonal untuk sekadar memberi cinderamata. Meskipun levelnya hanya kaki lima, ternyata ada beberapa pedagang perhiasaan emas di pasar tersebut. Jelas ini bukan barang yang murah. Ketika adzan berkumandang memanggil orang beriman untuk sholat di masjid, beberapa pedagang emas langsung menutup dagangannya dengan koran atau kain dan meletakkan batu sebagai pemberatnya. Pedagang tersebut langsung meluruskan niat ibadah dan seakan-akan mengabaikan barang daganganya.

Sang pedagang sangat mempercayai pedagang lain bahwa barangnya akan aman-aman saja. Begitu juga dengan pengunjung pasar atau calon pembelinya. Sebuah koran yang menutup sudah menjadi tanda bahwa sang pedagang tidak ada di tempat, dan jika mau menunggu tidak akan memakan waktu yang lama.

Cerita lain, masih di tanah suci. Saya membacanya di surat kabar belum lama ini. Si pencerita bertutur bahwa ia sedang menjalankan umroh. Ketika itu ia sedang menunggu waktu sholat fardhu di sebuah masjid yang jumlah jamaah sangat banyak. Shaf (barisan sholat) pun meluber hingga luar halaman masjid. Si pencerita memilih shaf di sebuah emper toko bersama beberapa orang.

Tiba-tiba saja ada seorang wanita yang ingin mengambil uang di ATM di toko tersebut. Namun langkahnya terhalang oleh shaf tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, ia meminta orang yang ada di dekat ATM untuk menarikkan uangnya. Ia pun menjulurkan kartu ATM dan mengatakan password-nya. Sang wanita tadi percaya pada orang asing (bukan hanya belum dikenal, tetapi juga berbeda bangsanya) bahwa orang tersebut akan mengambil uang sesuai yang ia minta.

Cerita ketiga, berkisah di negara Jepang (atau Korea Selatan ?). Ketika masa panen tiba, para petani di sana, hanya meletakkan hasil bumi di pinggir jalan tanpa di tunggu. Jika ada orang lewat dan ingin membeli, ia cukup melihat daftar harga yang dipampang dan memasukkan uang sejumlah hasil bumi yang ia beli. Sebuah kotak kecil tempat meletakkan uang pun tergeletak di tempat yang sama. Klopun ada uang kembalian, cukup mengambil di kotak tersebut.

Lalu bagaimana dengan contoh dan kisah kepercayaan di negara ini ? Sejauhmana hal tersebut menjadi teladan ? Saya hanya menunggu reply email (atau comment), jika Anda menemukannya di negara ini...

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang 15/september3]

1 comment:

rarabaly said...

Kepercayaan itu memang mahal harganya. Tapi jika kita berlaku jujur sekalipun tidak akan ada hasilnya jika orang/rekan kerja kita selalu berfikiran negatif dan penuh curiga.

Disisi lain membangun kepercayaan memang tidak mudah, bisa dalam hitungan tahun...terutama untuk perusahaan sekelas Bank.

Akhirnya kita kembalikan ke Allah SWA.......jika kita selalu berlaku jujur....kepercayaan itu akan datang dengan sendirinya.

Salam

rara