Sunday, November 25, 2007

[tentang] Banyak Jalan


Yang namanya jalan memang sebuah tempat lalu lalang, sebuah infrastuktur untuk transportasi. Jalan pun lantas menjadi penanda sebuah alamat dan kemudian diberi nama, bisa jadi nama pahlawan, tokoh adat atau leluhur, gunung, wayang, buah-buahan hingga deret angka Romawi. Jalan juga bisa bercerita banyak, meski itu hanya jalan kampung atau gang yang menuju rumah saya.


Rumah saya yang pertama, terletak di Kampung Ketandan, sekitar 500 m dari jalan Malioboro Jogja. Dari dulunya, kampung ini memang padat, bahkan tanah kosongpun tak ada, semua sudah di semen. Jalan kampungnya pun model huruf "T". Kedua ujungnya gang beradu dengan jalan raya aspal dan sisi lainya berujung pada jalan buntu. Nah rumah saya berada pada akses jalan buntu tersebut. Alhasil rumah saya terkesan " ngumpet".


Jalan buntu itu pun terletak di tengah2 antara kedua ujung gang. Resiko jadi sama-sama jauh, baik mo ambil jalan ke utara atau ke selatan. Tapi yang lebih merepotkan lagi adalah "keharusan" menuntun sepeda motor. sama-sama menuntun jauh untuk menuju jalan raya. Maklum tahun 80an, sepeda motor belum banyak, dan abah saya harus "tepo sliro" dengan menuntunnya.


Pada SMP, saya pindah rumah ke kampung Purwodiningratan. Kampung ini jauh lebih besar dari kampung sebelumnya. Letak rumah saya berada di ujung utara. Jika saya menyebut nama kampung "purwodiningratan" orang akan merujuk pada kompleks perguruan Muhammadiyah yang berada di Jalan KHA Dahlan, yang berada sangat jauh dengan rumah saya. Akses terdekat ke rumah justru mengambil jalan KS Tubun atau yang lebih dikenal dengan kawasan Patuk yang terkenal dengan cemilan Bakpia.


Kampung ini juga sangat padat, rumahnya juga berdempetan. Untuk menyiasati kondisi tersebut, rumah saya dan rumah tetangga membuat "gang" sendiri. Keduanya pun membagi tanah secara adil. Gang ini sebenar bukan akses jalan, tetapi untuk membuat sirkulasi yang baik. Ada jendela menghadap gang tersebut, sekaligus tempat sepeda motor atau sepeda. Untuk menghindari agar gang tersebut dijadikan akses jalan dan menjaga rasa aman, salah satu ujungnya sengaja ditutup semi permanen dengan papan kayu.


Rumah saya saat ini, di kampung Demakan, lebih unik lagi. Rumahnya dibangun sesuai luas tanah yang dimiliki. Perkiraan awal, tak perlu halaman depan, karena masih ada tanah kosong, berupa kebun pohon pisang, di depan rumah. Namun dengan seiring waktu, tanah kosong itupun dibangun rumah, akhirnya rumah saya dengan rumah didepannya sangat mepet, hanya sebatas jalan selebar 1 meter saja. Cukup merepotkan untuk sepeda motor (atau gerobak sampah, tukang bakso) yang saling berpapasan.


Terlepas dari cerita itu semua, jalan juga menyiratkan sebuah makna mendalam. Jika dunia mengenal peribahasa "banyak jalan menuju roma"; maka saya pun tak mau kalah, " banyak jalan menuju rumah saya".... bukan berti saya punya banyak rumah, tapi sering pindah-pindah rumah. hehehehe

ps. foto : rumahku di demakan, sumber : google.

Rock d World!
rio_nisafa

Saturday, September 22, 2007

[tentang] Percaya saja!!

" duit lu ditaruh dimana ? "
" nggg ....... "
" enggak ditaruh di dalam alquran ???"

Percakapan itu terjadi antara saya dan Ricki, seorang rekan kerja saya, beberapa waktu silam. Ia menanyakan dimana saya menaruh uang saat saya tinggal di rumah bedeng bersama beberapa teman. Kira-kita tiga tahun yang lalu, saya pernah ngontrak sebuah rumah di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Rupanya ia ingin tahu atau malah penasaran dimana saya menaruh uang pribadi saya. Mungkin ia berpikir tinggal dalam satu rumah dengan beberapa orang akan memiliki resiko lebih besar terhadap kehilangan suatu benda, apalagi uang. Ia juga berpikir bahwa dengan menaruh uang di antara halaman kitab suci akan memperkecil resiko tersebut. Seakan-akan "si pencuri uang" akan berpikir beberapa kali ketika mengambil uang yang bukan miliknya.

Namun semua itu hanya ketakutan atau tepat kewaspadaannya semata. Saya sendiri merasa aman-aman saja dengan semua barang-barang milik saya. Tinggal bersama 4 orang teman tidak memberikan saya ketakutan akan kehilangan sesuatu. Begitu juga dengan keempat teman saya.

Padahal saya termasuk orang yang sembarang menaruh dompet saya. Dompet biasa saya letakkan atas lemari plastik, di dalam locker (plastik juga), atau bahkan tetap di saku belakang tatkala celana saya gantungkan. Tidak ada lemari yang terkunci di dalam rumah itu. Begitu juga dengan handphone. Lebih dari itu, saya pernah ninggal sepeda motor selama seminggu ketika mudik lebaran.

.... Maka saya binggung juga ketika mo jawab atau komentar terhadap pertanyaan Ricki di atas. Ketika saya percaya pada teman serumah dan sebaliknya, maka tidak ada yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Saya malah gak menyangka klo ia punya alternatif tempat menyimpan uang, Bagi saya, kitab suci bukan sekedar menakut-nakutkan (secara fisik lagi) seseorang untuk berbuat sesuatu.

Itu lah kepercayaan.... yang nampaknya makin sulit di kehidupan kita saat ini... Bukan saja, melanda Ricki yang kebetulan teman saya. Ia merupakan salah satu bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki masalah besar dalam kepercayaan.

Saya tak perlu bertutur banyak tentang "tingkat kepercayaan" di republik ini. Sebagai perbandingan, saya hanya pernah mendengar beberapa cerita dari negara manca, yang mungkin bisa menjadi teladan bagi kita semua.

Seseorang pernah bercerita, tatkala naik haji, ia pergi ke pasar tradisonal untuk sekadar memberi cinderamata. Meskipun levelnya hanya kaki lima, ternyata ada beberapa pedagang perhiasaan emas di pasar tersebut. Jelas ini bukan barang yang murah. Ketika adzan berkumandang memanggil orang beriman untuk sholat di masjid, beberapa pedagang emas langsung menutup dagangannya dengan koran atau kain dan meletakkan batu sebagai pemberatnya. Pedagang tersebut langsung meluruskan niat ibadah dan seakan-akan mengabaikan barang daganganya.

Sang pedagang sangat mempercayai pedagang lain bahwa barangnya akan aman-aman saja. Begitu juga dengan pengunjung pasar atau calon pembelinya. Sebuah koran yang menutup sudah menjadi tanda bahwa sang pedagang tidak ada di tempat, dan jika mau menunggu tidak akan memakan waktu yang lama.

Cerita lain, masih di tanah suci. Saya membacanya di surat kabar belum lama ini. Si pencerita bertutur bahwa ia sedang menjalankan umroh. Ketika itu ia sedang menunggu waktu sholat fardhu di sebuah masjid yang jumlah jamaah sangat banyak. Shaf (barisan sholat) pun meluber hingga luar halaman masjid. Si pencerita memilih shaf di sebuah emper toko bersama beberapa orang.

Tiba-tiba saja ada seorang wanita yang ingin mengambil uang di ATM di toko tersebut. Namun langkahnya terhalang oleh shaf tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, ia meminta orang yang ada di dekat ATM untuk menarikkan uangnya. Ia pun menjulurkan kartu ATM dan mengatakan password-nya. Sang wanita tadi percaya pada orang asing (bukan hanya belum dikenal, tetapi juga berbeda bangsanya) bahwa orang tersebut akan mengambil uang sesuai yang ia minta.

Cerita ketiga, berkisah di negara Jepang (atau Korea Selatan ?). Ketika masa panen tiba, para petani di sana, hanya meletakkan hasil bumi di pinggir jalan tanpa di tunggu. Jika ada orang lewat dan ingin membeli, ia cukup melihat daftar harga yang dipampang dan memasukkan uang sejumlah hasil bumi yang ia beli. Sebuah kotak kecil tempat meletakkan uang pun tergeletak di tempat yang sama. Klopun ada uang kembalian, cukup mengambil di kotak tersebut.

Lalu bagaimana dengan contoh dan kisah kepercayaan di negara ini ? Sejauhmana hal tersebut menjadi teladan ? Saya hanya menunggu reply email (atau comment), jika Anda menemukannya di negara ini...

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang 15/september3]

Friday, August 24, 2007

[tentang] Kririk Dari Murid Bodoh

Lupakan saja tentang tentang kebodohan saya di masa lalu. Toh semua sudah lewat. Sekarang saya sudah tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Jika saya bodoh ada dua asumsi mendasar, saya yang bener-bener bodoh atau dunia pendidikan di republik ini yang tidak bisa menciptakan manusia-manusia pinter...??

tapi menurut saya sich, kecendrungan ada di opsi ke dua. :p

heheheh, maafkan saja, jika saya mengkritik pendidikan di negara ini. Hal ini sekaligus sebuah apologi bagi saya, bahwa saya gak bodoh-bodoh amat. Lha wong saya bisa mengkritik pendidikan di negara ini. Terserah mo diterima atau gak, saya juga gak mau peduli. Toh, tulisan ini saya maksudkan juga untuk menyangkal pendapat yang udah kebentuk bahwa "saya memang murid yang bodoh" di tulisan [tentang] saya sebelumnya.

Saya punya 3 kritik dasar terhadap dunia pendidikan. Tiga kritik ini saya ajukan sesuaikan dengan runtutan saya belajar di bangku sekolah. Sedang cacatan di bangku kuliah, akan saya tulis belakangan, karena pendidikan di kampus tidak hanya menyangkut sistem pendidikan tapi juga perkara individu (hehehe, baca : masalah pribadi saya)

(1) Perbedaan Standar Pendidikan
Meski saya terbilang bodoh di SD, sesungguhnya saya tidak bodoh amat untuk ukuran murid SD di kota Jogja. Bener! NEM (nilai ebtanas murni) mencapai angka 40 lebih, atau rata-rata 8. Dari nilai itu, saya bisa masuk SMP favorit di Yogyakarta, seperti SMP 8, atau SMP 1. Hanya SMP 5, yang tidak bisa saya masuki.

Dengan NEM itu saja sudah membuktikan bahwa bodoh di SD MUhammadiyah Ngupasan, ternyata mampu meraih NEM tinggi. Jadi bodoh atau pintar itu ternyata soal standar. SD saya memang punya standar sangat tinggi, maklum SD saya termasuk SD Favorit dan punya segudang prestasi.

Wajar klo kualitas pendidikan di SD saya mendapat nilai dua jempol. SD saya sudah mengenal les tambahan di sore hari, setiap murid mempunyai LKS sendiri-sendiri, sarana perpust yang lengkap. Belum lagi kegaiatan ekstra kuliner, eh, ektrakulikulernya. Saya Lalu membandingkan dengan SD lain... wah, jauh sekali standarnya.

Jika Anda sudah menonton film "Denias", (sebuah film tentang anak di Papua), Anda dapat bandingkan bagaimana standar pendidikan di Indonesia sangat timpang sekali.

(2) Sekolah = Pembodohan Massal
Saya masuk SMP yang tidak favorit karena gagal diterima di SMP Favorit. Hal ini ternyata membuat mental saya down. Jika saya mendaftar di SMP 8 (SMP favorit kedua setelah SMP 5), saya pasti sudah diterima. NEM saya masuk. Di awali mental down itulah, saya sempat merasa tidak semangat sekolah (wakakakaka, jawaban ra mutu, untuk seorang anak SMP).

Apalagi memang sekolah ini ra mutu blas (maafkan saya, untuk itu tidak saya sebut nama SMP saya). Saya membandingkan dengan SD saya saja. Mental down ini ternyata membuat prestasi saya di kelas satu jatuh hingga 30 besar.

Yang paling parah di SMP ini adalah pembagian kelas berdasarkan rangking kelas di kelas sebelumnya. Oya, di kelas 1, saya masuk di kelas 1A, karena memang NEM saya tinggi. Pembagian kelas ala ini membuat saya masuk kelas 2C, karena rangking saya di kelas 1 adalah 30 besar.

Pembagian kelas ini merupakan upaya pembodohan massal. Seorang murid bodoh (baca: mempunyai rangkin besar) dimasukkan dengan murid yang bodoh pula. Lalu bagaiman murid itu bisa menjadi lebih pandai dengan pembagian kelas ini. Yang ada murid yang bodoh akan semakin bodoh karena berteman dengan teman yang bodoh pula. Belum lagi para guru sudah memandang rendah dan ogah-ogahan mengajar di kelas C atau D.

(3)Steorotipe Pendidikan
Jujur saja, saya memang tak suka dengan ilmu eksak (macam ilmu fisika, kimia). Tapi ini soal pilihan atau potensi setiap individu. Orang punya kecendrungan sendiri-sendiri. Bagi saya ilmu eksak atau sosial itu dalam posisi yang setara, gak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Namun di negara ini, ilmu eksak seolah dianggap lebih tinggi. Saya juga gak setuju dengan menyebut ilmu sosial sebagi ilmu non eksak. Ini merupakan bentuk arogansi dari ilmu eksak. Akibatnya ilmu sosial dianggap ilmu kelas kedua setelah ilmu eksak. Hal ini yang membuat kelas A3 (ilmu sosial) di SMA dianggap sebagai kelas buangan karena murid-muridnya tidak mempunyai nilai yang bagus pada pelajaran ilmu eksak.

Steorotipe ini, yang menempatkan ilmu eksak lebih tinggi, menjadikan saya dan teman2 di kelas A3 mempunyai beban yang gak sehat. Seolah murid kelas A3 adalah murid buangan karena tidak masuk kelas A1 atau A2. Seorang teman sekelas saya sempat merenung di kapal (ketika libur kenaikan kelas dan ia pulang kampung ke kalimantan) tentang masuknya ia di kelas A3.

Hal ini makin terlihat tidak fair dengan murid A1 atau A2 bisa masuk fakultas sosial di perguruan tinggi, sedang urid A3 tidak bisa melakukan hal yang sama. Pendidikan di negara ini justru membuat steorotipe yang "merendahkan" tentang ilmu sosial.

* * * *

ya sudahlah.... Lupakan tulisan ini, jika Anda masih percaya bahwa saya adalah murid yang bodoh... Klo tidak, ya ga papa juga. Saya juga ga tau mo melakukan apa dengan sistem pendidikan tanah air. Bingung aja dengan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan manusia malah terkadang membodohkan dan membodohi..... wakakakakaka

[tentang 14/agustus3]

Rock d World!
rio_nisafa

Monday, August 20, 2007

[tentang] MURID YANG BODOH#2

Masa SMA pun saya jalani dengan beban kebodohan yang masih berat. Saat kelas 1, nilai IPA saya tidak bagus.Entah biologi, fisika, apalagi kimia. Sedang nilai matematika standar. Dengan nilai seperti ini, maka saya sukses memasuki kelas IPS atau yang di masa saya disebut kelas A3.

Dengan predikat murid A3, wajar saja klo saya terjebak pada steorotipe murid yang bodoh, nakal dan susah diatur. Saya yakin rangking teman-teman di kelas A3 pada saat kelas 1, pasti 30an besar.. hahaha, kayak seperti saya juga. Anggapan bahwa kelas A3 adalah kelas buangan, kayak sah-sah saja.

Hebatnya, teman-teman saya malah bangga dengan 'kebodohan mereka' dengan membuat sigkatan bahwa SOSIAL adalah akronim dari 'Sekolah Ogah SInau Apalagi Les' hahahaha. A3 juga dipanjangkan menjad Anak Amoral Asusila... Soal kebadungan atau kenakalan kelas A3, gak usah diceritakan lagi, simetris, berbanding lurus dengan kebodohannya.

Meski merasa murid bodoh di 3 bangku sekolah, saya bisa memasuki kampus Universitas Gadjah Mada.Jurusannya pun terbilang favorit, komunikasi. Singkatnya keren banget, banyak yang daftar untuk masuk jurusan dan universitas tersebut (boleh bangga dikit nich)

Tapi sekali lagi, prestasi di bangku kuliah ternyata sebangun dan sepadan dengan masa-masa sekolah dulu. Jika standar kuliah S1 adalah 5 tahun, maka wajarlah klo saya juga masih patut menjadi mahasiswa yang bodoh. Saya menyelesaikan bangku kuliah selama 6 tahun. Ya, enam tahun. Predikat cumlaude pun melayang jauh-jauh, karena predikat ini hanya didapat bagi mereka yang lulus maksimal 5 tahun dan IPK minimal 3,5.

Soal kebodohan di masa kuliah, saya tak tau persis, karena mahasiswa tidak dikotak-kotak melalui kelas, rangking apalagi nilai raport yang bisa diketahui oleh teman lainnya. Mungkin kebodohan saya bisa dilihat dari pernahnya saya mengambil cuti kuliah selama semester. Bodohnya karena saya mengambil cuti hanya karena merasa jenuh kuliah aja. Sebuah alasan yang terdengar bodoh dan tak masuk akal. tapi ya udah lah...


Cerita ini bukan karena saya merasa bangga menjadi bodoh, apalagi ingin mempunyai predikat (maha)siswa yang bodoh ; tapi sekedar berbagi pengalaman saja. bahwa sayapun pernah menjadi orang yang bodoh. wakakakaka

[tentang 13/agustus2]

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Murid yang Bodoh#1

Jika ada predikat murid yang bodoh, saya yakin bahwa saya termasuk dalam nominasi ini. Bahkan saya juga yakin, saya akan diunggulkan. Sekali lagi cuman diunggulkan, bukan yang meraih prestasi terbodoh.

Jadi asumsi awal yang hendak saya sampaikan adalah Jangan terkecoh dengan penampilan kacamata yang saya pakai. Kacamata ini hanyalah kacamata yang saya gunakan karena terlalu nonton TV terlalu dekat. Sumpah, ruang di rumah saya dulu yang terlalu sempit, menjadikan jarak mata saya dan layar tivi tidak sesuai kaedah yang baik dan benar.

Tapi tak apalah, saya mulai dari duduk di bangku SD, jaman saya masih pake baju merah putih. Kebetulan saya sekolah di SD yang favorit. Terletak di tengah-tengah kota serta memiliki regu Drum Band yang menyabet juara umum tingkat DIY-Jawa Tengah. Fasilitasnya pun lengkap. ada Mushola luas, UKS yang bersih, perpustakaan yg lengkap (setidaknya dibandingkan SMP saya), hingga alat pemadam kebakaran. SD saya pernah maju dalam lomba sekolah teladan, meski saya tak tau meraih juara berapa.

Soal muridnya, saya yakin teman-teman saya pinter-pinter semua. Muridnya sering maju di lomba cerdas cermat di TVRI Lokal. Hasil NEMnya pun terbilang tinggi untuk Ranting Yogya Barat. Mungkin karena saat itu sudah ada jam pelajaran tambahan alias les sore hari menjelang EBTANAS (sekarang Ujian Ahkir Nasional)

Mungkin karena muridnya pinter-pinter itulah saya jadi terlihat bodoh. Hal ini saya sadari saat kelas 6. Saat itu ada seorang guru yang menerapkan tugas kelompok dalam pelajaran kelas. Awalnya Guru memilih 5-6 murid terpandai untuk maju ke kelas. Kemudian satu persatu mereka menunjuk teman untuk dijadikan teman sekelompok. Walhasil murid yang pandai akan terpilih di awal-awal pilihan, diikuti oleh murid yang prestasinya sedang. Nah yang tidak pinter, harus mengalah belakangan.

Dan ternyata, saya menempati posisi tersebut... posisi ahkir yang dipilih sebagai teman sekelompok belajar... wadefak... rupanya saya dianggap bodoh oleh teman saya sendiri.

Tapi beberapa minggu kemudian, sang guru merubah pola main di atas. Sekarang yang maju ke depan, bukannya murid2 yang paling pandai di kelas, tetapi justru murid yang terbodoh yang maju ke depan dan "seolah" menjadi ketua kelompok belajar. Sekali lagi, ternyata saya masuk kelompok 6 besar terbodoh di kelas. saya maju ke depan dan memilih teman untuk masuk kelompok saya."anjrittt"

Memasuki masa remaja di bangku SMP, kebodohan saya tak kunjung hilang, malah nambah... Apalagi statusnya SMP tidak favorit. Mereka yang masuk SMP ini hanya karena nem rendah atau terbuang dari SMP favorit. SMP yang tak bisa dibanggakan sama sekali. Bahkan saya tak tau, apakah smp saya punya lemari kaca untuk memajang beragam piala. Pokoke payah banget dan ra mutu.

Dengan teman-teman SD yang begitu pintar saja saya tetap tidak terkatrol menjadi pintar, apalagi dengan teman-teman SMP yang saya yakin tingkat kepinterannya setara dengan saya. Hal ini diperparah dengan fasilitas sekolah yang minim. Tapi ya udah lah, saya masuk SMP ini karena NEM saya yang pas-pasan juga.

Di Kelas satu, rangking kelas saya adalah 33 (atau 31) dari 44 siswa... huahuahau, besar banget tuh angka. dulu waktu SD rangking itu hanya untuk 3 besar, kini saya jadi tau betapa bodohnya saya. angka itu sudah membuktikan. Akibatnya dari rangking itu saya masuk di kelas 2C. Gambarannya Kelas 2A adalah kelas bagi murid murid yang masuk rangkin 11 besar, 2B untuk rangking 12-22, dan seterusnya. Wah, temen saya yang bodoh jadi banyak banget, sekelas lagi. Walau bukan kelas terbodoh alias kelas 2D.

(bersambung)


[tentang 13/agustus2]

Rock d World!
rio_nisafa

Friday, July 06, 2007

[tentang] Dasar Indonesia!


Entah kenapa, tiba-tiba saja nama Tukul Arwana mencuat di permukaan dunia entertainment. Padahal lawakannnya, menurut saya, gak lucu-lucu banget. Di bawah standar srimulat, malah. Wajahnya yang unik, nggak juga. Ringgo Star lebih terlihat funny. Gerakan tangan menjadi ciri khasnya? saya sudah bosan sejak ia menjadi figuran di video klip "diobok-obok" Joshua.

Klo pun ia telah menjadi host selama lebih 200 episode di "Empat Mata", sekali lagi menurut saya itu bukan prestrasi yang harus diacungi jempol. Ia tak secerdas Farhan dalam mengali detail informasi. Tak seceria duet Indi Barens dan Indra Bekti. Bahkan wawancaranya tak begitu menyentuh sisi emosional ala Dorce Gamalama. Soal lucu, sori saya bahkan harus berpikir keras, kenapa audience di studio bisa tertawa terbahak.

Sori, sekali lagi penilaian di atas memang perkara subyektif saya. Tapi saya sangat-sangat (ada dua kali kata sangat) menghargai kerja keras dari sang Reynaldi ini. Sikap pantang menyerah perlu menjadi sebuah teladan, juga sikapnya yang tidak sombong sampai sekarang.

Saya hanya menyesalkan dengan materi Tukul di acara tersebut. Ada kesan MEMBODOHKAN dan MEREMEHKAN. Coba simak kata "Wong Ndeso". Ucapan kata tersebut disertai dengan intonasi yang merendahkan lawan bicaranya. Seakan lawan bicaranya adalah orang tak beradab, tidak berwawasan, bodoh, atau bahkan pandir. Ndeso bukanlah Desa dalam artian geografis, berupa pemukiman penduduk yang sebagian besar merupakan petani. Ndeso adalah sebuah ejekan, sebuah kata-kata sarkastis.

Kata-kata "Wong ndeso" sinonim dengan kata "Udik, lu" yang kerap dilafalkan orang jakarta kepada orang-orang dari daerah. Atau kata-kata "Dasar Kampungan!" yang juga kerap muncul dalam pergaulan kita sehari-hari. Nada ucapannya pun sama dan sebangun.

Liatlah... dengan boomingnya Empat Mata, kata-kata "wong ndeso" menjadi kosa kata sehari-hari di negara ini! sebuah kata yang ternyata merupakan suatu ejekan. Atau bahkan makian!.

Booming "wong Ndeso" seakan memperlihatkan bagaimana bangsa ini ternyata bangsa yang suka mengejek bangsanya sendiri, gemar memperolok-olok diri sendiri atau bahkan memiliki wajah yng sangat arogan! Orang-orang di republik ini seakan menjadi orang yang lebih dengan merendah-rendahkan orang lain. Seakan mereka memiliki harga diri dan martabat yang tinggi hanya dengan mengatakan orang lain "ndeso, udik dan kampungan".

Lalu seperti apakah kita ?

orang yang suka memandang rendah orang lain?

Saya hanya takut, esok hari, ada ejekan "Wong Indonesia"; "Indonesian, lu", atau "Dasar Indonesia!". Sebuah ejekan yng diberikan oleh negara-negara maju pada republik ini. Sebuah ejekan yang mengambarkan kepada pandirnya kita, pandir dalam mengurus dirinya sendiri!


[tentang 12/juli2]

foto : http://www.friendster.com/33780112

Rock d World!
rio_nisafa

Monday, July 02, 2007

[tentang] Di SD, Kita (tak) Jaya.



Pada jaman dahulu, hiduplah seorang anak kecil yang bernama Rio. Ia tinggal di desa pinggir hutan bersama neneknya saja..... hahahaha, just kidding. Dahulu, waktu masih duduk bangku SD, saya merasakan bahwa ada ada yang tidak benar dalam sistem pendidikan. Hebatkan, waktu SD saja, saya sudah berpikir tentang pendidikan di negara ini. Tapi mungkin inilah sedikit pengalaman saya beberapa tahun silam.

Sebagai bahan evaluasi belajar, para murid menjalani apa yang disebut sebagai ulangan. Sejumlah soal yang kemudian dinilai oleh para guru untuk mengukur kemampuan masing-masing murid. Begitu juga dengan saya dulu. Saat kelas 6 SD, sistem ulangan yang diberikan pada murid menggalami perubahan. Ada seorang guru yang memberikan ulangan harian tidak dengan mendiktekan soal atau mencatatkannya di papan tulis. Tetapi guru tersebut memberikan bahan ulangan melalui Buku LKS (Lembar Kerja Siswa ?). Walhasil, guru tersebut hanya membagikan LKS kepada setiap murid. Buku LKS itu sendiri wajib dimiliki oleh para siswa.

Masalah muncul ketika para guru akhirnya menjadi malas untuk membuat soal buat anak didiknya. Kreatifitas guru sebagai jembatan ilmu dan pengetahuan pun dipertanyakan. Kalaupun ulangan sebagai bahan evaluasi, apakah LKS dapat menjadi standar proses belajar di kelas. Bukankah sang guru yang seharusnya lebih tahu, sejauhmana ia menyampaikan pelajaran kepada muridnya, lalu membuat evaluasi atas apa yang diajarkan.

Ada yang menduga (dan ini sangat wajar) bahwa persoalan buku LKS, tak jauh dari persoalan rupiah. Guru bisa "berkolusi" dengan penerbit buku LKS, ada sejumlah keuntungan rupiah jika guru bisa menjual buku LKS ke murid. Para salesman buku LKS (atau buku pelajaran) bukan hanya satu dua datang ke sekolah dan menawarkan barang dagangannya.

Saya tak ingat, berapa harga buku LKS saat itu. Seingat saya, buku itu terbit setiap caturwulan, sesuai periode pembelajaran saat itu. Bukunya sendiri ulurannya A5, dengan kertas buram, dan cover warna orange. Karena buku ini wajib dimiliki para siswa, maka wajar kalau saya (dan teman2 sekelas lainnya) melihat ada kolusi di dalamnya.

Bahkan beberapa tahun kemudian, saya membaca di surat kabar bahwa salesman dari penerbitpun telah memandang bahwa sekolah tak ubahnya sebuah pasar, tempat dimana keuntungan rupiah bisa diraih. Bahkan ada kasus pula yang membuat sejumlah pejabat terseret di kasus hukum karena persoalan pengadaan buku pelajaran di sebuah kabupaten tertentu. Apalagi saat ini, buku pelajaran sudah dicetak secara bagus, cover fullcolour, kertas glossy, halaman dalam berwarna dan tentunya harga yang lebih mahal. damn!!!

Kembali ke masa SD, beberapa teman pun melihat sisi lain dari pengadaan buku LKS. Mereka pun tak kalah cerdiknya... mereka bisa mendapat nilai sempurna setiap ulangan harian. Caranya sederhana saja, mereka bisa membeli (lagi) buku LKS di toko buku dan memperoleh lembar kunci di halaman tengah. Maklum buku LKS hanya dijilid dengan kawat steples. Lembar kunci inilah yang kemudian menjadi bahan contekan. Sedangkan buku LKS yang dibeli di Bapak/Ibu Guru, lembar kunci sudah dicabut. Namun saya tak tahu pasti, apakah ada teman kelas yang melakukan hal ini; atau hanya sekadar wacana saja.

Jika guru hanya mengejar rupiah, murid mencari nilai, (dan orang tua hanya berpatok pada rangking kelas), lalu dimana siapa yang harus bertanggung jawab pada pendidikan ? Atau ini menjadi salah siapa ?

foto :wikipedia
[tentang 11/juli1]

Rock d World!
rio_nisafa

Monday, June 18, 2007

[tentang] SERIBU WARNA, SERIBU SATU KEBINGUNGAN


" mas, ini warna apa ? hijau atau biru ? "
" hmmmm itu cyan! "
" opo maneh kuwi ? "

Dialog singkat itu terjadi beberapa waklu lalu di kantor saya. Seorang rekan bertanya tentang warna yang ia pakai untuk memblok sebuah cell di aplikasi excel. Alih-alih mendapat jawaban atas warna yang ia tanya, sebuah pertanyaan malah kembali ia ajukan. tampaknya ia belum pernah pernah mendengar kata "cyan".

Persoalan warna memang terlihat sekilas gampang, tapi bagi saya warna telah menjadi perkara yang rumit, komplek tapi penuh tantangan. Menjawab pertanyaan seorang rekan di atas memang gampang. Namun sulit jika kemudian persoalan warna bukan menjelaskan sebuah nama warna. Banyak hal perkara yang kemudian menjadikan warna itu berkembang menjadi persoalan teknis, identitas bisnis, hingga enti tas ideologis.

Menapaki karir di dunia media massa, saya sempat tergagap dengan persoalan warna yang akan di keluar di tabloid. Meski memangku jabatan sebagai wartawan, saya tertarik dengan persoalan warna. Ternyata dari tiga komputer yang ada di bagian design (untuk lay out tabloid) tidak mampu menanpilkan warna yang sama. Sebuah warna kuning di komputer A, akan terlihat di seperti orange di komputer B, dan tampak pucat di komputer C.

Persoalan ini sebenarnya sederhana jika, ketiga komputer telah dikalibrasi, sebuah proses untuk menyamakan warna di komputer dengan warna cetakan. Namun langkah ini tidak dilakukan oleh kantor saya. Bagi boss saya, hal ini bukanlah perkara besar, yang penting baginya adalah meraih omzet iklan sebesar-besarnya. Walhasil ketika tabloid tersebut sudah cetak, kami hanya mencocokkan warna yang tercetak di kertas buram sekian gram dengan warna di monitor komputer. Dari ketiga monitor, kita pilih yang paling mendekati.

Masih di tempat kerja yang sama, saya pernah menjumpai "Colour Book". Buku ini sebenarnya cuman menampilkan ribuan warna dengan detail CMYK. CMYK sendiri merupakan standar warna yang digunakan untuk percetakan. Dalam standar CMYK, sebuah warna merupakan kombinasi atas 4 warna Cyan, Magenta, Yellow dan Black.

Dua tahun kerja di Jakarta, di sebuah prinscipal otomotif nasional, persoalan warna kemudian berkembang lebih rumit. Ketika ada pergantian logo di tempat kerja, saya termasuk orang yang rada puyeng. Ketika dipilih warna merah sebagai warna logo, timbul pertanyaan panjang. "Ini merah apa?". Klo warna merah di komputer, dengan mudah terjawab M=100, Y=100, tapi permasahannya ketika warna tersebut diterapkan di media lain, seperti logam. Standar warna merah ternyata berbeda. Walhasil kita harus mengecek belasan plat logam dengan variasi warna merah.

Selain itu ada standar warna PANTONE, klo tak salah warna ini digunakan untuk stiker. standar warna ini juga sempat membingungkan juga. variasi warna merah lebih banyak dari yang ditawarkan di plat logam di atas. Ada juga standar warna RGB yang digunakan untuk tampilan untuk website. Belum lagi untuk warna cat, beda merk, beda standar. ufff....

Warna bukan saja perkara ini hitam, atau itu putih, tetapi telah menjadi identitas bagi perusahaan tempat saya bekerja. sebuah warna mempunyai nilai psikologis tersendiri. Merah berarti semangat, kuning bermakna kejayaan, hijau memberi ketenangan, putih adalah suci dan sebagainya.

Sebenarnya ada persoalan warna yang tak kalah pelik, warna kemudian menjadi entitas dari sebuah ideologi. Sebuah partai politik bisa dilihat apakah ia partai merah, hijau, kuning, biru, putih, atau justru abu-abu. Klo resiko persoalan warna yang saya ceritakan di atas paling besar adalah dimarahin boss, diomelin klien, atau cetak ulang. Klo persoalan ideologi (dan partai politik, gerakan massa, organisasi sosial) perkaranya lebih rumit, dan makin susah untuk dijelaskan.

[tentang 10/juni2]

Rock d World!
rio_nisafa

Sunday, May 13, 2007

[tentang] Kisah Sapi'i dan sapi


Suasana rumah sederhana itu langsung meledak, Sang ibu tak henti-hentinya menangis meraung-raung. Sedang bapak hanya diam saja, diam dalam kebingungan seorang lelaki dalam memahami suatu hal. Sedangkan Syafie, sang remaja tanggung usia, juga diam saja. Sang bocah yang akrab dipanggil "sapi'i" ini hanya tertunduk linglung, tak tahu harus berbuat apa atau mengucap satu dua kata.

" pi'i, pi'i...., kowe ki piye tho le, le ?" isak sang ibu.
(pi'i, pi'i...., kamu itu gimana sich, nak?)

Sapi'i hanya diam saja. tak tahu harus ngomong apa.

" jawab tho, le... kowe ki ngopo wae wektu ditinggal bapak karo simbok?"
(jawablah nak... kamu melakukan apa saja ketika ditinggal bapak dan ibu?)

Isak sang ibu mulai kencang, memekakkan indera pendengaran setiap orang yang berada di rumah sederhana itu. Sang bapak tetap saja diam, seakan berpikir mengenai tingkah polah sang anak.

Tangis sang ibu mulai pecah, meratapi sang anak
" Kowe iki ngopo to, pi'i... ditinggal bapak karo simbok seminggu wae, sapine neng omah kok wis meteng?"
(kamu melakukan apa aja, pi'i... ditinggal bapak dan ibu seminggu aja, sapi di rumah kok sudah bunting)

Sapi'i keliatan bingung setengah mati mendengar ucapan sang ibu, namun ia tetap saja diam.
"pi'i.... kok kowe ngetengi sapi ki piye to le?"
(pi'i.... kenapa kamu membuntingi sapi, kenapa nak?)

"nek, kowe pengen rabi, ngomong wae karo simbok, ojo njur kowe ngetengi sapi "
(kalo kamu ingin nikah bilang aja sama ibu, jangan lantas kau membuntingi sapi)

Teriakan sang ibu makin kencang. Suaranya terdengar oleh para tetangga di sekitar rumah. Langsung saja mereka berdatangan ke rumah sapi'i. Sekadar ingin tahu dan memenangkan sang ibu.

Dalam waktu sekejab saja kabar Sapi'i yang membuntingi sapinya sendiri langsung tersebar di seluruh desa. Isyu tersebut membuat gempar seluruh penduduk desa dan menjadi buah bibir masyarakat dimana-mana sepanjang waktu. Di area persawahan, orang-orang sibuk membicarakan tentang kelakuan Sapi'i. Sedang di teras rumah warga, para ibu bergosip menggenai seperti apa wujud anak sapi yang akan dilahirkan. Kawan-kawan sebaya Sapi'i pun mulai menjauhinya dan mencemoohnya tak henti-henti.

Belum sempat isyu tersebut berkembang menjadi keresahan sosial (?), datanglah Paman Sapi'i. Ia bermakud ingin menjernihkan kabar angin tersebut kepada seluruh warga desa. Di tengah-tengah warga warga yang telah termakan isyu, ia menjelaskan bahwa sapi yang bunting itu bukan karena ulah Sapi'i. Buntingnya Sapi disebabkan karena adanya percobaan kawin suntik yang tengah ia lakukan. Lalu dengan gamblang ia menjelaskan bahwa kawin suntik merupakan program mengembangbiakan ternak sapi dengan menyuntikkan sperma beku ke tubuh sapi betina.

*****

Kisah sapi'i di atas bukanlah sebuah kisah nyata, Ini hanya sebuah kisah dalam acara "Kontak Tani". Sebuah acara yang ditayangkan oleh TVRI sebagai ajang informasi dan edukasi pertanian, perkebunan, dan perternakan. Acara tersebut tayang pada tahun 1990 tatkala saya masih SMP dan TVRI masih menjadi satunya hiburan di layar kaca. Seinggat saya, jadwal tayangnya minggu siang.

Tokoh Sapi'i atau Syafie adalah teman sekelas saya waktu SMP, nama aslinya Triono. Namun karena aktingnya yang keren di acara tersebut ia lebih akrab dipanggil "Sapi'i". Hal ini ditunjang dengan postur tubuhnya yang tinggi (sesuai memerankan usia remaja belasan) dan tentunya wajah yang lugu dan lucun....


Rock d World!
rio_nisafa
[tentang 09/mei2]
foto dari www.deptan.go.id

Saturday, March 31, 2007

Cita-cita, Mimpi, Obsesi

 
A. Cita-Cita (masa kecil)
1. Astronot
Siapa tak kenal Neil Amstrong atau Yuri Gagarin ? Saya sudah mengenal dua nama astronot (atau kosmonot) sejak jaman SD. Nama mereka ada dan selalu hadir di buku IPA. Bahkan nama mereka juga harum di catatan sejarah sebagai orang pertama yang mendarat di bulan dan orang pertama yang tinggal di luar angkasa.
Bagi saya yang masih kecil tersebut menjadi astronot adalah hal yang sangat keren, meninggalkan bumi menjelajah misteri ruang angaksa yang maha luas. Buku-buku mengenai astrnomipun saya lahap. Tentunya yang bergambar dan penuh warna warna. Langit yang gelap, bintang yang gemerlap, komet dengan ekor indahnya, serta susunan planet dalam tata surya telah menggugah keingintahuan saya dan memutuskan bercita-cita mengunakan pakaian seperti robot, berhelm kaca, dengan tabung oksigen, dan menapakkan kaki di planet baru.

2. Sekjen PBB
Apakah jabatan paling tinggi dan berkuasa di dunia ? Jika pertanyaan ini diajukan pada saya saat beberapa belas tahun silam, maka saya akan menjawab sekjen PBB. Menjabat sebagai sekjen PBB seolah menjadi presidennya presiden, menjadi atasan seluruh kepala negara dan pemerintahan di di seluruh negara di di atas dunia (hahahah... aku lah yang berkuasa).

Tapi inilah salah satu sikap naif kekanak-kanakan saya. Mungkin juga karena guru IPS di SD selalu meminta muridnya (termasuksaya tentunya) untuk menghapal sekjen PBB. Siapa tahu keluar di ujian ebtanas. Klo menghapal president RI jelas gampang sekali, kan saat itu cuman dua.

B. Mimpi (masa muda)
3. Wartawan
Melewati masa remaja tanpa banyak teman, menjadikan saya dekat dengan berbagai bacaan. Selain berlangganan koran di rumah, sayapun kerap mengunjungi perpustakaan daerah di daerah malioboro. Kedekatan dengan media inilah yang menjadikan saya pernah berkeinginan menjadi wartawan. Meliput berbagai peristiwa penting, mengetahu banyak hal dan mengunjungi tempat-tempat baru merupakan daya tarik bagi pofesi ini.

Saat masa SMP-SMA pun, saya telah mulai untuk aktif menulis. Beberapa tulisan termuat di Tabloid Kaca, tabloid dengan segmen pelajar lanjutan, yang diterbitkan oleh Kedaulatan Rakyat Groups. Mulai dari opini, cerpen, hingga berita foto. (bahkan karya kartun saya pun pernah dimuat). Keingginan untuk menjadi wartawan semakin menguat tatkala psikotest yang saya ikuti saat kelas 2 SMA, merekomndasikan saya untuk masuk jurusan komunikasi.

4. Creative Director
Sadar bahwa kekuasaan ideologis saat ini berada di tangga kapitalis, saya sempat berpindah jalur untuk menjadi seorang creative director, seorang pengarah kreatif yang hadir di balik suksesnya sebuah kampanye periklanan. Saat kuliah saya sadar bahwa, iklan (atau marketing communiation secara luas) sebuah produk telah menjadi panduan tersendiri bagi masyarakat luas. Bukan hanya untuk sarana informasi sebuah produk, tetapi juga tawaran image, selera gaya hidup bahkan sebuah pandangan hidup.

Menjadi creative director semakin kuat saat saya menceritakan apa itu creative director di kelas bahasa inggris. Di tempat kursus itu, sang tentor sangat tertarik dengan profesi tersebut dan bertanya beberapa hal (tentunya dalam bahasa inggris). Keinginan tersebut menjadi semakin
tatkala saya menjadi pemenang dari Creative Contest yang diadakan sebuah biro iklan nasional di Jakarta.


C. Obsesi (masa kini)
5. Rock Star
Tak ada yang lebih hebat ketika ribuan pasang mata tertuju pada saya, saat perhatian hanya berfokus pada setiap kata dan gerakan saya, juga saat spot lamp menyorot badan dan sejumlah kamera tanpa lelah terus memburu saya. Itulah obsesi saya untuk menjadi seorang Rock Star. Seorang yang berdiri tegak di atas panggung, bernyanyi lantang dan mampu menghiptotis penggemarnya. Bahkan saat komputer menyalakan MP3, seolah-olah saya menjadi seperti Eet(Edane) yang mempunyai teknik gitar paling jago dan mempunyai atraksi panggung yang sangat khas. Atau seperti Andy(/rif), Armand (GIGI) hingga Bagus (Netral) yang menurut saya adalah rockstar yang tampil all out ketika di stage.

Puluhan band telah saya saksikan dan mereka tampil dalam aksi panggung yang sangat-sangat saya nikmati. Bahkan aksi panggung di televisi pun jarang saya lewatkan. Sayapun sempat mengikuti program TV "Reinkarnasi" di Indosiar, sebuah reality show yang mencari seorang vokalis baru untuk band Evo, yang akan melahirkan seorang Rockstar baru, bukan "idol" apalagi "artis sesaat".


Rock d World!
rio_nisafa

Tuesday, March 13, 2007

[tentang] TIGA BENCANA

Minggu kemaren, saya dan keluarga tengah wisata kuliner di Rowo Jombo. Kami menikmati santapan ikan air tawar di kawasan rumah makan terapung pada sebuah danau di Klaten Selatan. Namun bukan soal selera makanan yang saya hendak ceritakan. Namun justru ketika perjalanan pulang ke Jogja, saya dan abah (sebutan untuk orang tua laki-laki) melihat berbagai bencana yang terjadi di Kota Jogja dan sekitar.

Dalam perjalanan pulang tersebut, saya telah melihat tiga bencana sekaligus dalam kurun waktu tak kurang dari tiga jam. Musibah pertama yang saya saksikan adalah gempa bumi yang melanda Jogja dan Klaten pada Mei 2006 lalu. Selanjutnya pesawat Garuda GA 200 yang meledak dan terbakar di Bandara Adisucipto, satu minggu lalu. Terahkir bencana alam puting beliung yang menghajar daerah Lempuyangan, Jogja; sekitar satu bulan silam.

Awalnya, saya dan keluarga memutuskan untuk berkendara mengelilingi danau. Mumpung ada waktu luang dan masih agak sore (sekitar jam 3 sore) kami memutuskan untuk melihat kawasan wisata kuliner tersebut. Namun dalam perjalanan pulang, kami sadar bahwa jalan yang ditempuh berbeda dengan jalan yang diambil ketika berangkat. Kami nyasar ke jalan menuju kota Wonosari, Gunungkidul. Setelah bertanya beberapa kali ke penduduk sekitar, kami pun memutuskan untuk kembali mengambil rute Klaten-Jogja.

Dalam perjalanan tersebut, kami melewati Bayat, Klaten Selatan yang termasuk dalam daerah yang tergolong parah akibat terkena gempa teknonik. Beberapa bangunan masih teronggok begitu saja di kanan kiri jalan yang saya lalui. Sebagian rumah yang roboh akibat gempa masih menyisakan pondasi dan sisa-sisa reruntuhan. Terlihat pula tembok yang pecah dan memperlihatkan ruangan yang telah kosong. Terlihat pula atap rumah yang telah rubuh (atau telah dirubuhkan). Saya menjumpai pula peringatan tertulis pada pagar tembok di sisi jalan "Awas pagar runtuh!".

Namun yang lebih menyedihkan, saya masih melihat sebuah tenda berdiri di antara puing-puing rumah. Beragam pertanyaan mengelayut di pikiran saya, apakah tenda itu dipakai si pemilik untuk tidur dan beragam aktifitasnya, atau sekadar untuk menyimpan barang saja? Atau bantuan pemerintah untuk membangun rumah kembali belom sepenuhnya diterima? Atau ada hal lain yang belum saya ketahui?

Setelah kembali pada jalan yang benar (maksud saya jalan Raya Jogja-Solo), saya dan abah memutuskan untuk melihat musibah terbakarnya pesawat Garuda GA 200. Posisi jatuhnya pesawat terletak di dekat Bandara Adisucipto yang searah dengan perjalanan pulang. Saat melintasi Gapura AAU (Akademi Angkatan Udara), saya melihat telah banyak motor parkir di pinggir jalan. Sebuah kertas menempel di sebuah tiang listrik bertuliskan "tempat parkir musibah pesawat terbakar", lengkap dengan gambar pesawat terbang.

Untuk sampai lokasi, saya pun harus berjalan sekitar 500 m dengan melewati pinggir sawah, melompat aliran irigasi, menerobos rimbunan pohon pisang, hingga menyebrangi rel kereta api. Kondisi jalan tak mulus, selain agak licin juga menanjak. Saya merasa kasihan dengan abah ketika harus melewati itu semua. Tapi karena rasa ingin tahu dan banyaknya orang yang ingin menonton, kendala tersebut sedikit tak terasa.

Akhirnya saya bisa melihat secara langsung bangkai garuda. Pesawat berada tepat di tengah sawah. Saya melihat dari sekitar jarak 50 meter dan di pinggir sawah. Pita kuning bertuliskan "Police Line"(?) mengelilingi area tersebut. Beberapa POM AU (semacam Polisi Militer?) tampak berjaga-jaga. Badan pesawat sendiri telah hangus dan terbelah, turbin mesin tergeletak sekitar 20 meter dari badan pesawat. Beberapa orang tampak memotong badan pesawat dengan bantuan alat las. Jika angin berhempus ke arah saya, bau karbit akan tercium kuat.

Lokasi jatuhnya Garuda seakan telah menjadi ajang wisata. Saya melihat rombongan keluarga lengkap dengan anak balita, pasangan muda juga terlihat bergandengan, serta beberapa remaja tanggung usia. Bahkan saya melihat seorang penjual balon dan mainan anak. Terlihat pula seorang penjual siomay tengah melayani beberapa pembeli.

Musibah tersebut juga memberi keuntungan buat beberapa pemuda dengan menjadi tukang parkir. Meski dengan seragam warna orange, mereka menarik ongkos lebih kepada pengendara motor. Dua lembar ribuan pun pindah dari dompet saya ke para tukang parkir dadakan. Saat itu, mungkin ada sekitar 100 motor tampak parkir di kanan kiri gapura menuju AAU.

Tentang gapura AAU sendiri, ternyata menyimpang sebuah kenangan tentang bencana lain. Gapura AAU berwujud burung garuda, Dengan bentangan sayap yang lebar. Namun sayap di sebelah timur tampak roboh, akibat angin ribut (bukan angin puting beliung) yang terjadi beberapa tahun silam. Meski telah diperbaiki, namun sayap burung garuda tersebut tampak tidak simetris, sayap kanan lebih merebah dibandingkan sayap sebelahnya.

Setelah melihat bangkai garuda, sayapun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Di persimpangan jalan Galeria Mall, saya memutuskan untuk berbelok kiri, padahal jalan ke rumah jalan terus. Saya memutuskan untuk melintasi daerah Lempuyangan. Di daerah tersebut, beberapa minggu lalu, terjadi musibah angin puting beliung yang sangat besar dan meluluh lantakkan sebagian kecil kota Jogja.

Kamipun melintasi di Jembatan Layang (di jakarta disebut fly over) Lempuyangan. Melalui pemandangan dari atas tersebut, kami dapat melihat beberapa atap bangunan tampak melompong kosong. Atap itulah yang saya kira hilang, diterbangkan oleh angin puting beliung. Saya tak tau persis bangunan apa yang atapnya terbang tersebut. Mungkin milik instansi pemerintah atau militer. Di Bioskop Mataram papan baliho yang biasa berdiri 4-5 baliho film, cuma terlihat satu baliho film. Papan baliho tersebut merupakan saksi nyata dari amukan puting beliung yang melantakkan kota Jogja.

Musibah angin puting beliung sebenarnya telah terjadi beberapa minggu lalu. Puing-puing bangunan yang diterbangkan sang angin telah dibersihkan. Begitu juga dengan pohon-pohon yang roboh atau tercabut. Saat bencana terjadi, lalu lintas di sekitarnya mengalami kemacetan akibat pohon yang menutupi jalan.

Sesampainya di rumah, saya hanya bisa tertegun. Kota Jogja (dan juga Indonesia) tengah dilanda musibah yang tidak ada henti-hentinya. Bagi yang beriman, berbagai musibah tersebut adalah ujian dari Yang Maha Tunggal. Doa saya (tentu juga Anda!), bangsa Indonesia bisa tabah dan lolos dari cobaan ini. Amin.

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang 07/mar3]

Friday, February 23, 2007

[tentang] Sebut Saya Pembajak!

Pembajakan kaset atau cd tampaknya bukan barang asing bagi kita. Meski merugikan banyak pihak, pembajakan masih saja berlangsung. Para pemain band dan penyanyi pun pernah menggelar demo ala jalanan hingga bertandang ke gedung DPR sebagai ajang kampanye anti pembajakakan. Hampir di setiap kesempatan mereka rajin melafalkan "Jangan Beli Bajakan" dan menaruh logo "stop piracy" di setiap cover belakang kaset/cd.

Lalu apa hubungannya dengan saya? Apakah saya juga membajak kaset dan cd ? Tidak!. Saya tak pernah terlibat dalam industri pembajakan. Klo pun saya lebih sering mendengar MP3 itu hanya karena saya meraya lebih sering berada di depan komputer dn bisa memyimpan lebih banyak musik di hardisk hehehehe :p (maafkan saya)

Namun ada kesaman antara saya dengan pembajak kaset/cd. Tidak untuk saat ini, tapi justru pengalaman saya saat meduduki bangku SMP (menduduki? memang jepang menduduki indonesia!). SMP saya adalah smp negeri yang sangat-sangat tidak favorit! Menyedihkan memang, gedungnya berdiri di atas tanah bekas timbunan sampah. sekolahnya tak punya berprestrasi. muridnya tak pernah bermimpi untuk masuk smp ini. klo pun saya masuk, ini karena NEM SD saya tidak cukup untuk masuk SMP Favorit ( moron!) Namun yang paling menyebalkan adalah pelajaran Tata Busana!

Mulai dari kelas satu hingga kelas tiga, mata pelajaran ketrampilan yang diberikan adalah tata busana, baik untuk murid laki-laki maupun perempuan. Bagi saya dan kebanyakan siswa laki-laki, pelajaran ini jelas2 gak terlihat macho. Bandingkan dengan pelajaran di smp lain, elektronik! keren kan. Tapi ya udahlah namanya juga nasib :( Kami pun hanya bisa mengerutu dengan pelajaran ini. Bahkan kami memanggil guru tata busana dengan nama "pak sepul". Sepul sendiri merupakan salah satu onderdil di dalam mesin jahit. Saat ini pun saya sudah lupa dengan nama asli guru tersebut.(sekali lagi, maafkan saya)

Sesuai namanya, kami diajarkan untuk mampu membuat baju sendiri. yaa.. baju seperti seragam smp yang saat itu masih kemeja putih dengan celana pendek biru tua. Baju itu pulalah yang nanti menjadi nilai di ujian akhir. Namun di sebelum membuat baju sesungguhnya kami mengunakan pola baju terlebih pada media kertas sebelum ahkirnya di terapkan di kain untuk kemudian dipotong dan jahit.

Pada pelajaran awal-awal, pola yang kami buatpun mengunakan skala 1:8 atau 1:16 (klo tak salah ingat). Dengan skala ini, tugas kami hampir mirip origami, seni melipat dan mengunting kertas. Polanya pun beragam dari baju kemeja (baik lengan panjang maupun pendek), celana panjang dan pendek hingga rok.

Pada suatu hari, Pak Sepul menugaskan kami untuk segera mengumpulkan pola baju tersebut. Saya dan beberapa murid merasa kelabakan dengan tugas ini. Tugas ini memang telah diberikan beberapa minggu lalu, namun tak ada hasil jadi yang ada di tangan saya. Sang guru meminta agar tugas yang telah selesai dimasukkan dalam amplop diberi nama dan diserahkan ke beliau di ruang guru. Pak Sepul pun meninggalkan kelas, meninggalkan kami yang bingung setengah mati.

Tiba-tiba, entah entah kenapa karib saya waktu itu, Agung mengajak saya untuk mengantarkan tugas2 temen ke ruang kelas. Saya heran, kenapa ia bisa PD seperti itu. Padahal tugasnya juga seperti saya, tidak selesai dan tentu tidak rapi. Tapi, sayapun tak menolak menemani dia ke ruang guru.

Namun belom sampai di ruang guru, Agung justru berbelok ke ruang kelas kosong. Lalu dia mencomot salah satu amplop tugas dan memasukkan dalam sebuah amplopnya lalu memberi nama ia sendiri. ya! ia mengambil tugas milik seorang teman dan mengantikan amplop yang bertulis namanya. Saya sempat terheran-heran dengan ide ini, gila!. wadefak! saya pun akhirnya memngikuti perbuatan terkutuk dan laknat ini! meski saya telah membuat tugas, namun tidak semua tugas saya selesaikan dengan baik, tidak semua pola baju saya buat. hasilnyapun pasti gak karuan, acak kadul, jelek abis.

... Dengan sejuta penyesalan, saya akhirnya mengambil satu amplop juga. Tapi ini juga merupakan pilihan berat. Ampolop siapa yang akan saya "bajak" untuk kemudian diganti sama amplop saya. Terus berpikir siapa yg patut saya bajak. Saya tak punya "musuh" untuk saya korbankan; milik temanpun juga saya merasa bimbang. Tapi entah kenapa saya kemudian mengambil tugas milik Retno. temen perempuan sekelas ini. Saya memilih namanya karena saya kerap mencandainya hehehhe... :p

Dan tugas Retno, yang telah ia kerjakan selama beberapa minggu, pindah ke amplop saya, berikut dengan nama, kelas dan no absensi saya. Amplop Retno dan tugas saya saya masukkan ke dalam saku celana untuk kemudian dimusnahkan.

Kisah pembajakan saya pun selesai dengan rapi. Tak ada "korban" yang merasa dirugikan, saksi kunci pun juga teman saya sendiri sekaligus pelaku 1 dan sebuah rahasia tetap terjaga hingga saat ini. Saat anda membaca kisah pembajakan saya.

Rock d World!
rio_nisafa

Tuesday, February 13, 2007

[tentang] Mendadak (Gila) Dangdut


... lay, lay, lay, lay, lay, lay
... panggil aku si jablay

... abang jarang pulang
... aku jarang dibelai

Saat ini siapa tak kenal lagu "Jablay" di atas?. Sebuah lagu dangdut yang (semakin) melambungkan nama Titi Kamal. Lagu ini semakin menambah deretan prestasi yang telah dicapai salah satu artis sexy ini (setidaknya menurut saya :p).

Lagu "Jablay" sendiri terrangkum dalam Album OST (Original Soundtrack) film "Mendadak Dangdut". Dalam film ini Titi Kamal juga berperan sebagai pemeran utama. Meski film tersebut telah putar di cinema beberapa bulan yang lalu, lagu "Jablay" masih sering terdengar dalam frekuensi yang tinggi.

Titi Kamal memang tak mau disebut sebagai penyanyi dangdut. Sebenarnya saya pun menyayangkan tidak terjunnya Titi Kamal sebagai penyanyi dangdut sekalian. Satu Album dengan hits "Jablay" sepatutnya bisa menjadi modal untuk tampil live di televisi atau panggung hiburan lainnya. Dalam sebuah tayangan infotaiment (damn, ternyata saya nonton juga!), Titi Kamal menyatakan bahwa menyanyi dalam film tersebut tak lebih dari sekadar tuntutan skenario. Mempunyai album rekamanpun merupakan bagian dari pekerjaannya sebagai pemain film.

Namun saya tidak akan membahas film "Mendadak Dangdut" kali ini. Hal ini dikarenakan Toni, sohib saya tidak mengajak saya (atau mentraktir tepat) ke bioskop. Oya, nama di atas adalah nama yang mempengaruhi saya untuk mengenal musik dangdut secara mendalam. Satu tahun tinggal di kontrakan bersamanya, saya rutin menyaksikan program acara KDI dan acara musik dangdut lainnya di televisi. Jadi saya akan membahas lagu-lagu dalam Album "Mendadak Dangdut" saja.

Sebagai album soundtrack, tidak banyak dialog di film yang ditampilkan. Jikapun ada itu hanya dialog ringan yakni "neng ikutan abang ndangdutan yuk? // najis lo!" yang muncul di intro "jablay". Lalu dialog lain semacam announce "selamat datang dangdut mania di seantero pulau gadung//baiklah selanjutnya kita tampilnya seorang asing yang tidak artis lagi.. Nyi Maduma!!" pada lagu "Jablay" dalam versi dangdut remix. Ketika saya perhatikan detail, konyol juga sang mc.

Album ini pun tidak bisa dikatakan sebagai 100% album dangdut . Dari 10 lagu yang ditawarkan, empat lagu di antaranya adalah lagu ber-genre pop dan satu bernama dangdut remix. Dan tidak semuanya mengambil suara dari artis bernama Kurniati Kamalia ini (?). Ada vokal laki-laki yang hadir dalam format musik band.

Beberapa lagu perlu mendapat catatan dari saya. Lagu pertama yang saya ingin bahas tentunya "Jablay". Lagu ini sangat fenomenal sehingga istilah jablay muncul dimana-mana. Saya melihat stiker besar di sebuah bus. Seorang teman juga disapa Jablay. Kekuatan lagu ini memang terletak pada judul "jablay" yang menarik sekaligus "ear cachting". Liriknya pun unik, bertutur tentang seorang perempuan yang jarang dibelai. Konon kata jablay sendiri mempunyai konotasi negatif, semacam wanita murahan.

Lagu "Aduedueh Kakang" yang muncul dalam track ke 8, warna dangdutnya terasa sangat kental. Cengkok Dangdut Titi Kamal pun begitu kuat. Titi Kamal seakan mengerahkan kemampuan vokal terbaiknya dalam lagu ini. Hal ini terdengar melalui alat musik kendang dan instrumen electone yang hadir di intro dan pertengahan lagu.

Sementara lagu "Buronan Cinta" menghadirkan semacam interaksi dengan penonton. Sekilas mirip dengan lagu "Penonton" yang pernah dibawakan Vety Vera berduet Wan Abud atau pertunjukan lenong betawi. Judulnyapun terbilang unik, seakan menginggatkan saya pada lagu dangdut lainnya "Pengemis Cinta" milik Johny Iskandar.

Kritik sosial seakan tampak hadir dalam lagu "Mars Pembantu". Kisah (atau tepatnya derita) para pembantu rumah tangga terekam dengan baik. Tutur lagu ini seakan mewakili perasaan PRT yang nasibnya tetap saja terpuruk. Coba simak reffrainnya yang bergaya pantun "meski banyak padi di sawah, hatiku selalu resah// meski tlah ganti pemerintah, hidupku selalu susah//... oh nasib pembantu"

Lagu terkeren di album ini, menurut saya jatuh pada lagu "Dangdutkah Kita". Nilai sempurnapun layak ditujukan. Lirik dalam lagu ini membawa kita pada nuansa dangdut klasik negeri ini. Dengar aja sepintas reffrain lagunya "Tak ada gubuk derita meski makan sepiring berdua, dan menari-nari bagai boneka dari india". Nama Rhoma Irama, sang raja dangdut, pun terbawa-bawa dalam lagu ini. Hentakan kendang diikuti seruling semakin menambah nuansa klasik pada lagu ini. "Dangdutkah Kita" seolah ingin mengembalikan kita pada "khittah dangdut".

Lagu ini pulakah yang kemudian membawa pertanyaan besar kepada saya, persis sesuai judulnya, "Dangkutkah Kita"... atau lebih tepatnya "Seberapa dangdutkah saya ?" Atau kenapa saya jadi Mendadak (gila) Dangdut ? hehehe.... :p

Dangdut d World!
..eh, salah

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Konser Ungu : Nuansa Religi dalam bingkai Pop

Konser Ungu di Jogja membawa catatan penting bagi panitia penyelenggara, penonton dan terutama Pasha dkk. Empat hari sebelumnya, konser mereka di Pekalongan membawa 10 korban jiwa. Namun hal tersebut tak membuat mereka membatalkan konser di Stadion Mandala Krida pada pertengahan Desember 2006. Apalagi konser tersebut merupakan penutup rangkaian konser dan ternyata (menurut klaim Ungu) mampu meraup jumlah penonton terbanyak.

Dibuka dengan lagu "Surgamu", nuansa konser ini terlihat berbeda dengan konser band2 pop lainnya. Lagu ini sendiri tercantum dalam album yang bertajuk sama dan rilis dalam bulan Ramadhan lalu. Ribuan penonton yang telah menunggu Ungu, langsung turut melantun lagu ini. Meski dengan lirik yang lirih, gema lagu ini begitu terasa. Terutama di bagian di bagian Reffrain. Tak sedikit penonton konser larut dalam takbir, menyebut kebesaran Sang Pencipta.

Setelah lagu pertama digeber, sang vokalis Pasha langsung menyapa sekaligus meminta penonton untuk memanjatkan doa (berupa bacaan surat Al Fatihah) bagi korban konser Ungu. Semua pihak berharap peristiwa beberapa hari silam tak akan terjadi di kota Jogja. Apalagi pemberitaannya cukup kencang diekspos oleh media massa.

"Andai ku tahu", adalah lagu ketiga yang Ungu bawakan. Dan saya semakin merasakan nuansa yang menghanyutkan dalam konser. Lagu ini seakan menyadarkan kita untuk betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah kita buat dalam hidup ini. Liriknya sangat menyentuh kesadaran yang paling dalam, musiknya juga masuk banget. Meski saya rasa lirik ini hampir mirip Al-I'tiroof (Sebuah Pengakuan) yang diciptakan oleh Abu Nawas, saya tetap mengacungkan nilai sempurna buat Ungu.

Dari puluhan konser yang pernah saya nikmati, rasanya hanya konser Ungu ini yang begitu kental nuansa religius, tanpa terjebak pada sesuatu yang dogmatis apalagi melihat sesuatu dari sisi salah atau benar semata. Konser memang harus mengajak penontonya untuk nyanyi bersama, mengerakkan badan sesuai irama, tetapi ketika kesadaran akan sesuatu yang lebih besar tersentuh, konser tersebut memiliki nilai lebih. Ungu mampu menunjukkan hal tersebut, meski hanya di dua lagu.

Kalo boleh saya bandingkan, nuansa seperti ini juga pernah saya rasakan ketika saya menyaksikan "Kenduri Cinta", sebuah "pengajian ngepop" yang dibawakan Emha Ainun Najib. Saya bilang ngepop, karena dalam pengajian tersebut juga dilantunkan musik dari "Kyai Kanjeng". Dua kali saya hadir dalam kenduri cinta tersebut, di boulevard kampus UGM, Jogja dan di Taman Ismail Marjuki, Jakarta. Selain gaya bahasa yang mbeling, aksen ngepop yang dibawakan Cak Nun dilihat dengan munculnya "Mbah Surip" seorang penyanyi reggae berusia gaek.

Kembali ke konser, memasuki lagu berikutnya nuansa Ungu yang mellow dan romantik abis mulai muncul. Ditunjang dengan larisnya album mereka ketiga "melayang" dengan hits "Seperti Yang Dulu", "Tercipta Untukku" dan "Pilihan Hatimu" Ungu benar-benar membius para penonton untuk melantunkan lagu bersama. Ribuan ABG yang menikmati konser itu (tidak termasuk saya!) tampak sudah hapal luar kepala lagu-lagu Ungu.

Sayang... durasi konser ini terbilang pendek untuk sebuah band sebesar Ungu. Kurang lebih sepuluh lagu yang mereka bawakan. Lagu "Laguku" yang juga hits di album kedua tidak masuk dalam songlist dalam konser tersebut. Begitu juga dengan lagu "Ciuman Pertama" yang kerap wira-wiri di radio. Bahkan "Demi Waktu" yang menjadi first single mereka di album "melayang". Padahal saya terlanjur mengharapkan lagu ini turut dibawakan Ungu. Namun begitu.... secara keseluruhan, dua acungan jempol patut mereka dapatkan.


Rock d World! rio_nisafa

[tentang] Menatap Langit


Pernahkan Anda menatap langit ? Meluangkan sejenak waktu untuk merebahkan diri di tanah dan menatap lurus ke arah langit ? Jika belum, saya sarankan Anda untuk melakukannya. Malam ini, jika langit cerah, keluarlah dari rumah dan mulailah menatap langit sembari merebahkan badan. Sore hari pun juga tak mengapa. Namun jika Anda pernah melakukan, tak ada salahnya juga jika saya berbagi pengalaman menatap langit.

Pengalaman menatap langit pertama kali saya lakukan saat saya masih SMP. Tepatnya saat saya mengikuti kegiatan bela diri. Nah, pada saat pemanasan, biasa seluruh peserta (tak memandang level sabuk) akan melakukan bersama-sama. Termasuk saya tentunya. Salah satu aktivitas pemanasan adalah gerakan "sit up", mengerakkan tubuh dari tidur terlentang ke posisi mencium lutut.

Nah, karena masih sabuk putih, level paling rendah, hitungan sit up saya tak mencapai diatas angka 10. Ketika para senior terus melakukan sit up, sayapun merebahkan diri di tanah lapang, di alam terbuka. Sayapun dapat melihat langit sore yang sangat indah. Terkadang awan berarak beriringan dan ada kalanya langit cerah tanpa awan. Meski sejenak, saya saya dapat memandangi luasnya bentangan langit sebelum senja turun.

Bahkan Ketika perguruan kami menggelar latihan bersama (yang diikuti cabang lain) di Pantai Parangkusumo, memandang langit di sela rehat juga saya nikmati. Bedanya kali ini, saya rebahan di pasir pantai. Cuacanya pun lebih panas dan kulit kepala jadi lebih gatal. Namun rebahan di sebuah padang pasir (dalam arti sebenarnya) membuat saya semakin sadar bahwa saya ini tidak artinya jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta. kebetulan tempat saya latihan itu, merupakan "gumuk pasir", sebuah padang luas dengan beberapa bukit2 pasir luas membentang.

Memandang langit di malam hari pun, pernah saya alami. Kala itu, angkatan saya di kuliahtengah mengelar "Great Camping" semacam perkemahan untuk mengenalkan mahasiswa baru ke HMJ(Himpunan Mahasiswa Jurusan). Saya, yang menjadi panitia memilih menghabiskan malam di sebuah tenda terbuka yang terletak di pojok. Dengan teman2 dekat, saya menikmati dinginya udara malam di Kaliurang. Di tenda terbuka, kami bisa memandang langit secara bebas. Apalagi malam itu sangat cerah, ribuan bintang yang bertahta di singgasana langit tampak berkedip indah. Membuat kami berharap agar pagi tak lekas menghampiri. Apalagi saat itu, Lilik, karib saya melihat bintang jatuh... wah sayang sekali, saya tak melihat bintang jatuh itu dengan mata saya sendiri.

Tahun 2003, ketika terjadi fenomena "bulan kembar", saya pun memilih begadang semalam untuk menatap langit. Saat itu ramai dibicarakan bahwa Planet Mars, berada di titik paling dekat dengan bumi, menjadikan seolah ada dua bulan di langit malam. Meski planet merah tak seperti yang kami harapkan, saya tetap menikmati kegiatan menatap langit. Bedanya kali ini saya menatap langit tidak di alam terbuka, tetapi di tempat jemuran kost-kostan saya.

Kenangan terahkir menatap langit saya adalah tatkala malam pergantian tahun baru 2007. Bersama sohib saya, Anton, Puji dan Riza, saya memilih menikmati malam akhir tahun di pantai parangtritis. Meski jogja diguyur gerimis pada sorenya, niatan kami ke pantai tetap terlaksana. Sayapun tak lupa rebahan di pasir pantai. Namun sayang, langit masih mendung saat itu, tak ada bintang yang bertabur di angkasa. beberapa saatpun mulai terlihat satu bintang di kaki langit selatan mulai bersinar redup. Tak lama kemudian dua bintang lainnya terlihat tepat di atas kepala kami.

Kami pun berharap agar munculnya bintang menjelang jam 24.00 malam ini menjadi pertanda baik bagi saya dan sahabat saya (termasuk Anda!) di tahun 2007. Semoga.

Rock d World!
rio_nisafa

[tentang] Kalender


Pergantian tahun dan kalender dan adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Kalender memang merupakan penanda dari tanggal, hari atau bulan. Tapi ia juga telah menjadi sesuatu yang mengingatkan kita akan rencana, target bahkan kenangan terhadap sesuatu. Nah, saya pun mempunyai cerita tentang Kalender.

Pada saat SMA dulu, saya mempunyai sebuah kenangan seru perihal Kalender. Maklum saja saat itu juga usia masih belasan, masih punya keceriaan ala remaja (meski sekarang juga masih :p). Saat itu saya masih kelas 2, Bulletin Sekolah "Brata" membagikan kalender dinding sebagai bonus di salah satu edisinya. Itu artinya Kalender (bentar saya hitung dulu) tahun 1995. Wah lama juga yach...

Seinggat saya kalender itu berukuran double poster. Full Colour, tapi designnya standar banget. Bertuliskan nama sekolah lengkap dengan logo-alamat-telepon, foto gedung sekolah, dan foto beberapa kegiatan sekolah. Selain itu lay outnya juga biasa saja. Intinya gak terlalu keren untuk ditempelkan di dinding kamar.

Kami mendapat kalender tersebut pada jam istirahat pertama. Nah, pada jam pelajaran berikutnya... kenakalan masa SMA kami terjadi. Kami sekelas malah tidak tertarik pada pelajaran kesenian yang diajarkan pada jam tersebut. Saya dan teman-teman malah saling memberi tanda tangan tersebut pada kalender tersebut. Saya membubuhkan tanda tangan di tanggal ulang tahun saya pada kalender milik teman. Begitu juga kalender milik saya, ada tanda tangan teman sekelas pada hari kelahirannya.

Bisa dibayangkan jika satu kelas ada 40 murid, betapa ramai dan kacaunya kelas. Setiap murid akan "beredar" dari meja satu ke meja lain untuk membubuhkan tanda tangannya. Seakan tak boleh ada kalender yang terlewat dari tanda tangannya. Kalender tersebut seakan ingin menjadi pemberitahuan bagi masing-masing anak kapan ia berulang tahun. Beberapa teman ada juga yang menambah kata semacam "kesan pesan", tak sekadar tanda tangan.

Kelaspun menjadi ramai dengan tingkah polah saya dan temen-teman. Hal ini ditambah lagi dengan gurauan atau candaan khas anak SMA. Murid yang biasanya bersikap alim seakan-akan ikut tertular perilaku konyol ini. Tak ada teman yang tak membubuhkan namanya di kalender tersebut.

Mungkin pak guru kesenian kami, Bapak Ridwan (itupun klo gak salah) hanya bisa mengelus dada melihat perilaku kami. Pelajaran kesenian yang ia ajarkan menjadi terabaikan. Bahkan bisa jadi teman-teman menganggap jam pelajaran itu sebagai jam kosong. Semoga beliau bisa memaklumi atau bahkan berempati dengan kami sekelas ini.

Rock d World! rio_nisafa