Monday, July 02, 2007

[tentang] Di SD, Kita (tak) Jaya.



Pada jaman dahulu, hiduplah seorang anak kecil yang bernama Rio. Ia tinggal di desa pinggir hutan bersama neneknya saja..... hahahaha, just kidding. Dahulu, waktu masih duduk bangku SD, saya merasakan bahwa ada ada yang tidak benar dalam sistem pendidikan. Hebatkan, waktu SD saja, saya sudah berpikir tentang pendidikan di negara ini. Tapi mungkin inilah sedikit pengalaman saya beberapa tahun silam.

Sebagai bahan evaluasi belajar, para murid menjalani apa yang disebut sebagai ulangan. Sejumlah soal yang kemudian dinilai oleh para guru untuk mengukur kemampuan masing-masing murid. Begitu juga dengan saya dulu. Saat kelas 6 SD, sistem ulangan yang diberikan pada murid menggalami perubahan. Ada seorang guru yang memberikan ulangan harian tidak dengan mendiktekan soal atau mencatatkannya di papan tulis. Tetapi guru tersebut memberikan bahan ulangan melalui Buku LKS (Lembar Kerja Siswa ?). Walhasil, guru tersebut hanya membagikan LKS kepada setiap murid. Buku LKS itu sendiri wajib dimiliki oleh para siswa.

Masalah muncul ketika para guru akhirnya menjadi malas untuk membuat soal buat anak didiknya. Kreatifitas guru sebagai jembatan ilmu dan pengetahuan pun dipertanyakan. Kalaupun ulangan sebagai bahan evaluasi, apakah LKS dapat menjadi standar proses belajar di kelas. Bukankah sang guru yang seharusnya lebih tahu, sejauhmana ia menyampaikan pelajaran kepada muridnya, lalu membuat evaluasi atas apa yang diajarkan.

Ada yang menduga (dan ini sangat wajar) bahwa persoalan buku LKS, tak jauh dari persoalan rupiah. Guru bisa "berkolusi" dengan penerbit buku LKS, ada sejumlah keuntungan rupiah jika guru bisa menjual buku LKS ke murid. Para salesman buku LKS (atau buku pelajaran) bukan hanya satu dua datang ke sekolah dan menawarkan barang dagangannya.

Saya tak ingat, berapa harga buku LKS saat itu. Seingat saya, buku itu terbit setiap caturwulan, sesuai periode pembelajaran saat itu. Bukunya sendiri ulurannya A5, dengan kertas buram, dan cover warna orange. Karena buku ini wajib dimiliki para siswa, maka wajar kalau saya (dan teman2 sekelas lainnya) melihat ada kolusi di dalamnya.

Bahkan beberapa tahun kemudian, saya membaca di surat kabar bahwa salesman dari penerbitpun telah memandang bahwa sekolah tak ubahnya sebuah pasar, tempat dimana keuntungan rupiah bisa diraih. Bahkan ada kasus pula yang membuat sejumlah pejabat terseret di kasus hukum karena persoalan pengadaan buku pelajaran di sebuah kabupaten tertentu. Apalagi saat ini, buku pelajaran sudah dicetak secara bagus, cover fullcolour, kertas glossy, halaman dalam berwarna dan tentunya harga yang lebih mahal. damn!!!

Kembali ke masa SD, beberapa teman pun melihat sisi lain dari pengadaan buku LKS. Mereka pun tak kalah cerdiknya... mereka bisa mendapat nilai sempurna setiap ulangan harian. Caranya sederhana saja, mereka bisa membeli (lagi) buku LKS di toko buku dan memperoleh lembar kunci di halaman tengah. Maklum buku LKS hanya dijilid dengan kawat steples. Lembar kunci inilah yang kemudian menjadi bahan contekan. Sedangkan buku LKS yang dibeli di Bapak/Ibu Guru, lembar kunci sudah dicabut. Namun saya tak tahu pasti, apakah ada teman kelas yang melakukan hal ini; atau hanya sekadar wacana saja.

Jika guru hanya mengejar rupiah, murid mencari nilai, (dan orang tua hanya berpatok pada rangking kelas), lalu dimana siapa yang harus bertanggung jawab pada pendidikan ? Atau ini menjadi salah siapa ?

foto :wikipedia
[tentang 11/juli1]

Rock d World!
rio_nisafa

No comments: